Minggu, 13 Juli 2014

Mengetahui Konflik Laut Cina Selatan


Jakarta - Jika ada konflik paling pelik soal wilayah laut, mungkin hanya di Laut Cina Selatan, atau Laut Tiongkok Selatan.

Konflik mungkin bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, klaim kepemilikan atas pulau-pulau di Kepulauan Spratly, yang melibatkan Malaysia, Brunei, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Tiongkok.

Kedua, klaim kepemilikan atas Kepulauan Paracel, yang melibatkan Vietnam dan Tiongkok. Ketiga, klaim tumpang tindih perairan.


Indonesia tidak punya urusan dengan konflik di Kepulauan Spratly dan Paracel. Namun ketika Tiongkok memasukan perairan Pulau Natuna ke dalam peta klaim, Indonesia menghadapi ancaman serius untuk urusan kedaulatan.

Lihat peta klaim Tiongkok yang dikeluarkan pada 1947. Garis melengkung seperti lidah adalah klaim Tiongkok. Garis itu mengiris ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di lepas pantai Pulau Natuna.

Konflik Laut Cina Selatan mengemuka kali pertama di 1960-an, setelah terbitnya sebuah laporan penelitian akan adanya cadangan gas 900 triliun kaki kubik di Laut Cina Selatan. Setiap negara, kecuali Indonesia, saling klaim dan menguasai. Dasar klaim bisa macam-macam. Mulai dari historis sampai res nulius, atau daerah tak bertuan. Khusus yang terakhir dipergunakan Filipina.

Vietnam juga pernah mengklaim Pulau Natuna dengan menggunakan Teori Thalweg, atau teori palung sungai. Indonesia mampu mementahkan klaim itu dengan mengatakan Teori Thalweg tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan batas wilayah di laut. Vietnam tidak pernah lagi mengungkit klaimnya.


Konflik Laut Cina Selatan, yang telah berusia lebih 50 tahun dan kerap mencuat ke permukaan, seharusnya diketahui setiap calon pemimpin Indonesia. Mungkin tidak harus rinci, tapi siapa pun harus tahu struktur konflik itu dan apakah terdapat ancaman terhadap kedaulatan NKRI.

Capres Prabowo Subianto tahu konflik ini. Setidaknya yang berkaitan dengan klaim Tiongkok atas perairan Pulau Natuna. Joko Widodo, mengutip pernyataan Mahfud MD, sama sekali tidak tahu persoalan kepentingan nasional Indonesia di Laut Cina Selatan.

"Bahkan dia bilang Laut Cina Selatan tidak ada hubungan dengan Indonesia," ujar Mahfud MD.

Pengetahuan calon pemimpin Indonesia akan isu-isu regional dan internasional, terutama yang berkaitan dengan keutuhan wilayah NKRI, menjadi sangat penting dalam beberapa tahun ke depan. Khusus perairan Natuna, Indonesia diperkirakan menghadapi Tiongkok yang kuat secara militer dan politik.

Sekadar melawan lupa, Indonesia telah cukup menderita kehilangan wilayah akibat kalah diplomasi. Ingat kasus Pulau Cocos serta Sipadan dan Ligitan. Kita tidak ingin kehilangan lagi, dan presiden yang tahu ancaman terhadap wilayah NKRI lebih punya kemampuan melakukan diplomasi preventif.

0 komentar:

Posting Komentar