Kamis, 10 Juli 2014

Memahami Quick Count dan Exit poll


Jakarta - Pasca Pemilu 2014, ketegangan antar pendukung calon presiden mereda karena dengan metode quick count, kita sudah akan tahu siapa pemenang Pemilu pada saat itu juga.

Namun, bukannya kejelasan yang didapatkan, melainkan banyak diantara kita yang semakin bingung, karena lembaga-lembaga yang melakukan quick count memaparkan hasil yang berbeda-beda.

Ini patut dipertanyakan, karena sejarah quick count yang dimulai hampir 30 tahun yang lalu yang diawali di Filipina - yang saat itu digunakan sebagai sebuah kontrol atas penyelenggaraan Pemilu - kini menjadi upaya dalam membangun opini publik, yang tidak hanya menyedihkan dalam suatu “Pesta Demokrasi” namun membahayakan.

Pertama-tama, quick count (hitung cepat) bukanlah exit poll. Ini penting untuk disebutkan, karena ada lembaga survey yang selain melakukan quick count, juga melakukan exit poll, namun dalam pelaporannya ke masyarakat (setidaknya seperti yang dilaporkan di TV) tidak disebutkan secara jelas apakah data persentase pemenang Pemilu tersebut merupakan hasil quick count atau exit poll.

Exit poll adalah metode yang sangat sederhana, yakni dengan cara bertanya kepada pemilih setelah yang bersangkutan nyoblos, siapa yang dia coblos. Metode ini memiliki kelebihan: yakni cepat (tidak perlu menunggu setelah jam 1 siang) namun memiliki daya prediksi yang sangat rendah (dikarenakan adanya potensi bias yang sangat tinggi, yang membuat yang ditanya tidak memberikan jawaban yang jujur).

Quick count berbeda. Quick count mengandalkan pada prinsip prinsip statistika yang lebih kokoh (robust), dan karena mengandalkan prinsip prinsip keilmuan, serangkaian prinsip ini bukanlah merupakan pendapat atau dapat diinterpretasikan secara bebas dari lembaga penyelenggara quick count. Yang mungkin terjadi adalah: lembaga tersebut melakukan kekeliruan (inappropriate) atau penyalahgunaan (abuse). Dalam statistika, berlaku pernyataan “you can get statistics to say anything!”.

Pada kasus quick count, situasinya agak “tricky” (rumit, cenderung rapuh pada perdebatan). Maksudnya adalah, data yang digunakan oleh seluruh lembaga quick count, merupakan data yang sah (hasil penghitungan suara) dan karenanya masing masing bisa melakukan klaim bahwa datanya dapat diandalkan dan valid.

Namun, dan ini yang perlu diingat, bahwa quick count mengandalkan diri pada teori probabilitas (“kemungkinan”), dan probabilitas, agar supaya ia dapat digeneralisasikan ke populasi umum, membutuhkan serangkaian syarat yang harus dipenuhi.

Salah satu aspek probabilitas yang harus dipenuhi adalah the statistical law of large numbers. Dalam bahasa sederhananya, semakin banyak data yang digunakan, akan semakin akurat kemampuan prediksi data tersebut dalam mendekati kenyataan.

Aspek kedua yang juga fundamental untuk dipahami adalah central limit theorem, yakni sample data yang didapatkan secara berulang dari berbagai sample kelompok pada suatu populasi, pada akhirnya akan memunculkan data rata-rata (average) yang sejajar (representatif) dari populasi yang sebenarnya yang tergambarkan dalam bentuk kurva distribusi normal (berbentuk lonceng).

Implikasi praktis dari kedua teorema di atas dalam kasus quick count adalah: (1) seberapa banyak data sample digunakan oleh lembaga survey tersebut sebelum mereka yakin dalam menggeneralisasikan hasil tersebut?, (2) seberapa besar tingkat kepercayaan (confidence interval) atas data yang diperoleh terhadap populasi yang sebenarnya, dan (3) toleransi kesalahan (margin of errors) atas data yang dikehendaki/dijamin?

Ini penting untuk diketahui publik, agar jangan sampai opini publik terbangun bahwa si A atau si B menang Pemilu, namun ketika data tidak sesuai dengan data resmi KPU, baru kemudian margin of errors tersebut disodorkan (dengan kata lain, “wajar saja jika salah, kan toleransi kesalahannya memang besar”). Ahok di Sindonews.com bahkan menyebutkan ada margin error sebesar 4%, sementara ada lembaga survey yang menjamin error hanya kurang dari 1%.

Konsep dasar lain yang harus dipahami agar prinsip statistika yang disebutkan di atas menjadi nyata (hold true) adalah bahwa pemilihan sample harus dilakukan secara acak (random). Prinsip lain yang kemudian berhubungan -tetapi terpisah- dengan keacakan ini adalah, seberapa beragam (heterogeneity) atau seragamnya (homogeneity) suatu populasi dalam hal perilaku yang hendak diteliti?

Dalam kasus Pemilu, semakin kecilnya perkiraan selisih persentase perolehan antar kandidat, akan membutuhkan semakin besarnya jumlah sample (sample size). Jadi penentuan jumlah sample dalam quick count sedikit rumit, yakni tidak hanya memperhatikan jumlah pemilih yang berhak mengikuti Pemilu, namun juga tingkat keragaman dalam perilaku voting.

Di sinilah salah satu letak potensi “jebakannya”, yakni untuk menentukan tingkat keragaman atau keseragaman suatu populasi tidaklah mudah dan karenanya mesti mengandalkan hasil survey terdahulu (apabila ada) atau asumsi asumsi, yang bisa benar, bisa juga salah.

Lantas bagaimana menyikapi hasil quick count? Cara yang paling baik adalah, dengan menemukan parameter-parameter yang disebutkan di atas pada setiap lembaga survey yang menyodorkan hasil quick count nya. Atau, ikuti saran Dr. Phil, “the best predictor of future behavior is past behavior”. Jadi, lihat rekam jejak lembaga survey tersebut di masa lalu, dan gunakan judgement anda!
sumber:simon

0 komentar:

Posting Komentar