Jumat, 30 Mei 2014

Pendidikan Kekerasan Anak Di Indonesia

 
Jakarta - Pemberitaan di media cetak maupun elektronik tentang kekerasan yang dialami oleh anak, baik itu bentuk kekerasan fisik (bullying) maupun kekerasan atau kejahatan seksual (Child Sexual Abuse). Yang lebih menyedihkan lagi, bahwa kedua kekerasan dan kejahatan tersebut terjadi di dalam lingkungan pendidikan yang notabene itu adalah tempat yang seharusnya “steril” dari hal-hal semacam itu.

Kekerasan yang dialami oleh almarhum Renggo Khadavi, siswa kelas 5 Sekolah Dasar (semoga Allah SWT menempatkannya di sisi-Nya), dan kejahatan seksual yang dialami oleh beberapa orang siswa Taman Kanak-Kanak (TK) di Jakarta International School (JIS), bahkan mungkin ratusan siswa lainnya di seluruh Indonesia, merupakan bukti nyata lemahnya control dan pengawasan system manajemen pendidikan kita terhadap peserta didik itu sendiri. Sekolah yang mahal, bahkan yang bertaraf Internasional sekalipun bukanlah jaminan kalau siswa peserta didiknya aman dari kejahatan dan kekerasan. Bahkan yang menjadi ‘kejutan’, ternyata TK di JIS tersebut tidak mengantongi izin operasional dari Kementrian Pendidikan Nasional alias sekolah TK JIS adalah liar keberadaannya.

Karena itulah beberapa pakar pendidikan dan psikologi di Indonesia setuju untuk mencanangkan Gerakan Darurat Kekerasan dan Kejahatan Terhadap Anak. Gerakan ini lahir dari keprihatinan mereka terhadap kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gerakan ini harus mendapatkan dukungan dari semua pihak yang masih perduli dengan generasi bangsa ini. Jika kita hanya mengandalkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saja dalam menangani hal ini, maka bukan tidak mungkin kita akan semakin kewalahan dan ‘kecolongan’ dengan kejadian-kejadian kekerasan serupa berikutnya. Tentu saja, kita berharap bahwa ini adalah kejadian yang terakhir yang menimpa anak-anak Indonesia.

Kitapun mengapresiasi tindakan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang langsung merespon kekerasan yang terjadi terhadap almarhum Renggo yang terjadi di sekolahnya sendiri dengan merekomendasikan pemecatan terhadap Kepala Sekolah yang bersangkutan. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius dan pembelajaran bagi seluruh Kepala Sekolah di seluruh Indonesia agar mereka menjalankan seluruh fungsi manajemen sekolah, yaitu Perencanaan, Pengorganisasian yang solid, Pelaksanaan manajemen sekolah yang terpadu, dan Pengontrolan atau Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh guru, siswa, komite sekolah, penjaga sekolah dan seluruh unsur sekolah lainnya.

Kepala Sekolah juga seharusnya lebih sering berada di sekolahnya dan berkomunikasi secara intens dengan seluruh anggota sekolah, termasuk siswa-siswanya, daripada berada di luar sekolahnya dengan alasan menghadiri rapat-rapat yang terkadang tidak jelas kepentingannya.

Lemahnya pengawasan internal oleh Kepala Sekolah dan seluruh unsur anggota sekolah terhadap kegiatan guru dan siswa, mereka sangat membuka peluang terhadap terjadinya kekerasan tersebut.

Kekerasan Terhadap Anak

Menurut UU no 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sedangkan kekerasan adalah suatu tindakan memaksa, melukai atau menyakiti dengan sengaja terhadap objek sasarannya. Dengan demikian, bila kekerasan fisik dialami oleh mereka yang usianya saja belum mencapai 18 tahun, dapatlah kita bayangkan bagaimana sakitnya mereka menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh kekerasan fisik tersebut, belum lagi trauma psikis yang diderita oleh korban pasca kekerasan tersebut terjadi.

Karena itulah pemerintah, melalui aparat penegak hukumnya harus menghukum pelaku kekerasan terhadap anak dengan hukuman yang berat, agar menimbulkan efek jera kepada pelaku kekerasan lainnya.

Kekerasan terhadap anak dapat dilakukan baik oleh orang yang lebih dewasa maupun oleh sesama anak-anak itu sendiri. Biasanya hal ini terjadi oleh orang-orang dekat di sekitar mereka, bahkan bisa jadi juga oleh anggota keluarga si anak itu sendiri. Banyak penyebab mengapa kekerasan terhadap anak itu bisa terjadi.

Jika yang melakukan kekerasan terhadap anak itu adalah orang dewasa, maka penyebabnya antara lain adalah ketidakstabilan emosi si pelaku, seperti mudah tersinggung dan mudah marah. Berikutnya adalah himpitan ekonomi, trauma kekerasan yang dialami oleh si pelaku itu sendiri ketika dia masih anak-anak, dan faktor tontonan tentang kekerasan.

Sedangkan jika kekerasan itu dilakukan oleh si anak itu sendiri terhadap anak lainnya, maka penyebabnya antara lain contoh sikap dan prilaku orangtuanya dalam keluarga yang selalu menggunakan kekerasan dan kata-kata kasar dalam mendidik anak-anaknya. Berikutnya adalah faktor tontonan yang berisikan kekerasan atau tontonan yang berisi tentang kebencian terhadap teman sebaya, seperti yang selalu dipertontonkan oleh acara Sinema Elektronik (sinetron) di televisi kita. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya juga adalah kurangnya perhatian dan control orangtua di rumah dan para guru di sekolah, sehingga mereka dengan leluasa menjadi ‘jagoan’ atau ‘algojo’ bagi teman-temannya sendiri.

Khusus untuk tontonan sinetron di televisi lokal kita, sebagai sesama anak bangsa yang masih perduli dengan moral generasi muda bangsa ini, kami berpesan kepada para produser, sutradara, pihak televisi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar segera menghentikan tontonan atau sinetron yang menampilkan kekerasan dan intrik kebencian yang terkesan sangat amoral dan picisan. Apalagi latarbelakang ceritanya menggunakan background dunia pendidikan, seperti di sekolah atau kampus. Miris rasanya jika kita menyaksikan bagaimana sinetron-sinetron itu menampilkan adegan siswa yang mempermainkan gurunya, yang sengaja ditampilkan seperti orang yang bloon.

Padahal guru adalah orang yang wajib kita hormati karena posisinya adalah setara dengan orangtua kita. Belum lagi adegan ‘ngegank’ untuk membenci temannya sendiri, padahal mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pakaian seragam sekolah yang minimpun berani mereka tampilkan, seolah-olah sekolah adalah tempat untuk memamerkan aurat, khususnya bagi siswa perempuan. Ada juga adegan pacaran atau berdekatan sesama lawan jenis yang melebihi batas di sekolah dan kampus, dan masih banyak lagi adegan negatif lainnya.

Kami mengingatkan kepada para produser, sutradara, pihak televisi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bahwa moral bangsa ini sudah terpuruk sampai pada titik nadir, mulai dari rakyat jelata sampai para pejabat dan pemimpin bangsa kita sendiri. Jadi janganlah kita memberi andil untuk menambah kehancuran moral bangsa ini. Berikanlah anak-anak bangsa tontonan yang baik dan bermanfaat. Jika anda ingin menggunakan dunia pendidikan sebagai tema sinetron yang anda produksi, tunjukkanlah sisi positif dari dunia pendidikan bangsa Indonesia, galilah tema yang merangsang anak bangsa untuk berkreasi dalam ilmu pengetahuan atau tema pertemanan yang tulus. Jika anda semua tidak sanggup melakukan itu, lebih baik anda mencari tema yang lain dengan tidak menggunakan background dunia pendidikan dalam produksi sinetron anda.

Untuk itulah, maka pengawasan yang ekstra dari orangtua terhadap anaknya diperlukan. Kita harus mengetahui dengan siapa anak-anak kita bergaul, menanamkan keimanan kepada mereka sejak dini, berkomunikasi secara intens dan berkualitas, menghindari didikan dengan kekerasan, dan sebagainya. Hal ini harus dilakukan secara terus-menerus sampai mereka dewasa dan mengerti akan konsekuensi atau tanggungjawab terhadap suatu hal. Bagaimanapun, keluarga adalah lembaga pendidikan yang terkecil dan terkuat bagi anak-anak kita. Apa yang dilakukan oleh anak-anak di lingkungannya sesungguhnya itu adalah refleksi atau cermin dari budaya yang ada dalam keluarganya.

Sedangkan sekolah sebagai tempat anak menuntut ilmu harus dapat memberikan suasana belajar yang aman dan nyaman. Sekali lagi, Kepala Sekolah dan Guru harus mampu mendidik dan memberikan contoh suri tauladan yang terbaik bagi anak-anak peserta didik mereka. Jangan sampai kekerasan yang dilakukan baik oleh guru terhadap siswanya, maupun siswa terhadap siswa lainnya terjadi dalam lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan tersebut.
sumber: j. faisal