Namun rasa cinta Pak Tjokro terhadap anak didiknya Sukarno baru terlihat secara ekspresif ketika Gunung Kelud meletus, di tahun 1919 Bung Karno kebetulan sedang liburan sekolah HBS Surabaya, ia ke rumah orang tuanya di Blitar. Tak lama setelah Sukarno pulang ke Blitar, Gunung Kelud meletus hebat, dikabarkan Kota Blitar menjadi hujan abu yang massif dan banyak korban tewas. "Dheg..." hati Pak Tjokro berdegup keras saat mendengar berita meletusnya Gunung Kelud dan diperkirakan ribuan orang tewas. Dengan cekatan ia menggunakan mobilnya dan menerobos lautan abu di sekitar Gunung Kelud, ia pergi ke Blitar.
Di Blitar, Pak Tjokro hanya mendapati rumah Sukarno kosong dan berdebu, burung-burung kecil berterbangan. Hati Pak Tjokro menjadi semakin kacau "dimana Sukarno, dimana Pak Kemi ayah Sukarno..." bisik hati Pak Tjokro. Ia kemudian menaiki lagi mobilnya dan menuju kantor gementee, disana kebetulan ada posko yang dikelola perawat-perawat Belanda dari perkebunan kopi bagi korban Gunung Kelud, tak lama kemudian Pak Tjokro mendapatkan kabar bahwa Pak Kemi dan Keluarganya selamat. "Sukarno selamat..." kata orang tersebut. Dan hati Pak Tjokro melebar luas mengetahui bahwa Sukarno tak kurang dan tak apa sedikitpun.
Pak Tjokro bisa dikatakan seorang peramal ulung. Pernah satu saat Pak Tjokro berkata kepada tamu-tamunya di rumahnya. "Kelak anak ini akan menjadi pemimpin bangsa ini...ikuti dia" Ternyata memang benar Sukarno menjadi Pemimpin Besar Indonesia, Presiden Pertama RI.
DI tahun 1966 Sukarno bercerita soal Pak Tjokro ini pada Cindy Adams penulis catatan Otobiografi Sukarno "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". Tentang Gunung Kelud dan Pak Tjokro, Bung Karno mengatakan "Baru tau saya bagaimana Pak Tjokro menunjukkan rasa kasih sayang pada diriku, seorang anak yang butuh tempat teduh di rumahnya, meneguk air ilmu pengerahuan darinya" kata Sukarno kepada Cindy Adams dengan mata berkaca-kaca.