Rabu, 09 April 2014

Isu Politik; Amerika Mendukung Jokowi

Jakarta- Merebaknya penolakan Jokowi dengan alasan capres dari PDI Perjuangan itu didukung lobi Amerika Serikat, cukup mengejutkan. Sebab, perasaan anti-Amerika Serikat yang dikaitkan dengan Pilpres, baru kali ini terjadi.

Akibatnya penolakan itu memancing pertanyaan, apakah perasaan anti-Amerika Serikat di Indonesia, memang sudah ada dan mengental serta seberapa besar penyebarannya? Atau apakah reaksi itu sifatnya situasional dan akan hilang dengan sendirinya?

Selama ini peran Amerika Serikat dalam percaturan politik dan ekonomi di Indonesia, tidak bisa dibilang tak ada. Karena sudah menjadi pengetahuan umum, sejak 1966, peran Amerika Serikat di Indonesia, cukup besar.

Peran itu tersalur lewat para ekonom dan teknokrat Indonesia yang menyusun strategi pembangunan Indonesia di era Orde Baru. Konsep yang mereka gunakan, berasal dari textbook Amerika Serikat.

Sebagian besar tim inti teknokrat Orde Baru, jebolan perguruan tinggi asal Amerika Serikat. Inilah salah satu alasan, mengapa di era Orde Baru pernah populer julukan "Mafia Barkeley" yang merujuk kepada sejumlah menteri yang berasal dari Universitas Barkeley, California.

PT Freeport, merupakan perusahaan bermodalkan dana dari Amerika Serikat yang melakukan investasi di Indonesia di awal Repelita, pemerintahan Orde Baru. Sejak Orde Baru berkuasa di 1966, hampir semua kebijakan berorientasi kepada Dunia Barat, dalam arti dunia yang dipimpin Amerika Serikat.

Koneksitas Indonesia dengan Bank Dunia dan IMF (Dana Moneter Internasional), - dua badan keuangan internasional yang bermarkas di Washington, cukup kuat tapi tak lepas dari pengaruh Amerika Serikat. Satelit Palapa yang diluncurkan 1975, tidak lepas dari kedekatan dan hubungan baik Indonesia dengan Amerika Serikat.

Dengan peluncuran satelit Palapa, Indonesia menjadi negara nomor ketiga di dunia pada tahun itu yang memiliki satelit sendiri. Dua negara lainnya yakni, Amerika Serikat dan Uni Sovyet (kini Rusia).

Palapa menjadi alat investasi yang sangat berguna, karena berkat satelit itulah Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang memiliki sistem komunikasi modern. Transaksi keuangan dan perbankan yang begitu mudah dan cepat hingga kini bisa kita nikmati sekarang dan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi maupun percepatan pembangunan.

Satelit Komunikasi Palapa yang dibuat dan diluncurkan oleh Amerika Serikat akhirnya menjadi simbol pemersatu bangsa Indonesia setelah "perpecahan" antar dua orde, Orde Lama dan Orde Baru.

Lagi-lagi kalau kebijakan pemerintah RI yang pro Amerika Serikat disebut satu persatu, daftarnya akan menjadi sebuah catatan yang cukup panjang.

Indonesia memang tidak pernah menjadi antek Amerika Serikat. Tapi siapa pun yang paham tentang ideologi-ideologi besar di dunia, pasti mengerti bahwa pelarangan ideologi komunis berikut Partai Komunis Indonesia (PKI), hanya mungkin dilakukan oleh rezim Orde Baru karena desakan sekaligus dukungan Amerika Serikat.

Bahkan Desember 1975, Indonesia mampu mencaplok Timor Portugis (kini Timor Leste) dengan mudah untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semata-mata karena adanya "perintah" dari Washington.

Jadi Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun yang kemudian dilanjutkan Presiden SBY selama 10 tahun, merupakan rezim yang dikenal sangat dekat Amerika Serikat.

Dalam konteks seperti penggambaran di atas, jika tahun ini ada dukungan Amerika Serikat terhadap Jokowi sebagai capres 2014, sejatinya merupakan sesuatu yang normal dan bukan hal yang baru. Dukungan Amerika Serikat, sebagai sebuah negara industri, apapun motif dan alasannya, tetap lebih memiliki nilai dan bobot tersendiri.

Paling tidak dukungan Amerika Serikat itu bisa menjadi daya tarik negara-negara industri lainnya. Semakin banyak negara industri yang menilai positif akan status Indonesia, dampaknya bagi Indonesia pasti akan lebih baik.

Dalam situasi seperti sekarang, dimana tidak mudah bagi negara berkembang seperti Indonesia mendapatkan investasi, sebetulnya adanya keinginan Amerika Serikat mendukung capres seperti Jokowi, bukanlah sesuatu yang kontraproduktif.

Hanya memang, dukungan tersebut menjadi sebuah isu politik yang sensitif dan berpotensi destruktif, karena kemitraan lokal yang dipilih Amerika Serikat, secara psikologis memiliki kelemahan kultural.

Yang pasti menjadi sahabat negara industri seperti Amerika Serikat, bukanlah sebuah dosa besar. Karena dukungan Amerika Serikat bisa bermakna sebagai sebuah jaminan. Sentimen pasar internasional, demikian para analisa bursa dan keuangan biasanya menyebut, bakal berpaling ke Indonesia.

Penolakan terhadap campur tangan Amerika Serikat, tidak berdiri sendiri. Melainkan sebagai sebuah akumulasi ketidak puasan terhadap negara Paman Sam tersebut.

Sejauh ini, Indonesia memang sudah beberapa kali menjadi korban dari perubahan komitmen Amerika Serikat. Sebut saja seperti masalah pencaplokan Timor Timur (Timor Portugis) di 1975. Dalam perjalanannya, pencaplokan tersebut sekalipun dilakukan Indonesia atas "perintah" Amerika Serikat, tapi Washington secara resmi tidak pernah mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia.

Padahal pencaplokan tersebut antara lain untuk mendukung politik global Amerika Serikat yang sedang memerangi komunisme internasional di era itu. Dalam kasus Timor, Indonesia menjadi korban dari kebijakan berstandar ganda Amerika Serikat.

Masih dalam soal kebijakan. Di 1980-an, Indonesia membeli sejumlah pesawat tempur F-16 dari Amerika Serikat. Pilihan sebetulnya bukan hanya pada Amerika Serikat. Indonesia memilih produk Amerika Serikat sebagai sebuah "gesture".

Tapi ketika terjadi apa yang disebut Amerika Serikat sebagai pelanggaran berat HAM di Timor Timor dan pelakunya militer Indonesia, serta merta Amerika Serikat melakukan embargo persenjataan terhadap Jakarta.

Lanjutannya, sewaktu pesawat-pesawat tempur F-15 mengalami kerusakan, perbaikan tidak bisa dilakukan teknisi Indonesia. Tapi karena suku cadang yang hanya ada di Amerika Serikat, tidak diizinkan dijual kepada Indonesia, maka pesawat-pesawat tempur yang rusak itu, bertambah rusak.

Pasca-serangan teroris Al-Qaeda terhadap Menara Pusat Perdagangan Dunia (World Trade Center) pada September 2001, Amerika Serikat memperkenalkan kebijakan baru. Yaitu menjadikan teroris Al-Qaeda yang mengusung ideologi Islam, sebagai musuh utama Washington.

Ekses yang dilakukan pasukan anti teroris Amerika Serikat, membuat dunia Islam merasa dimusuhi. Akibatnya Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ikut terimbas dengan kebijakan Washington tersebut.

Dengan latar belakang itu, ada kekhawatiran persahabatan dengan Amerika Serikat, tidak berbasis kuat, mustahil langgeng dan berumur panjang. Sehingga masuk akal bila dukungan Amerika Serikat terhadap Jokowi sebagai calon presiden RI, dikhawatirkan memiliki persoalan dan risiko.

Permasalahannya sekarang, bagaimana membalik paradigma yang selama ini dipegang Amerika. Supaya kesan bahwa Amerika Serikat mau mengatur apa saja yang ada dalam sistem di Indonesia, tidak akan terjadi.