Senin, 20 Oktober 2014

Rekonsiliasi


Jalur - PERBEDAAN memang hal lumrah dalam politik. Namun, sekadar asal berbeda dan tanpa tujuan produktif justru bisa menjadi bencana. Sebaliknya, membuka ruang diplomasi dan komunikasi politik atau rekonsiliasi sangat penting dalam manajemen perbedaan atau konflik. Bahkan komunikasi dan diplomasi menjadi teramat penting pascaperta-rungan atau perebutan kekuasaan.

Tanpa komunikasi, diplomasi, dan rekonsiliasi, sakit hati tidak kunjung pulih dan bahkan diwariskan ke generasi berikutnya. Kondisi seperti itu bisa memantik kekerasan. Dapat dibayangkan, jika di suatu negara kekecewaan menjadi warisan, dendam menjadi kesumat, dan konflik mewujud dalam kekerasan hebat, bagaimana mungkin negara itu membangun dan mencapai kemajuan?

Ibarat luka yang senantiasa dikorek, sakit hati dan dendam berkepanjangan akibat kalah dalam pertarungan tak akan sembuh dengan obat apa pun. Di sinilah letak pentingnya membuka komunikasi dan diplomasi. Tak peduli siapa yang mengawalinya, apakah yang menang atau yang kalah. Pemenang sesungguhnya ialah mereka yang memulai komunikasi politik.

Ketika ruang komunikasi terjadi, seluruh pihak yang hadir di dalamnya ialah pemenang. Oleh karena itu, kita mesti mengapresiasi pertemuan presiden terpilih Joko Widodo dengan pimpinan MPR, DPR, dan DPD, sejauh pertemuan itu didasarkan pada semangat membangun politik kebangsaan. Kita pun mengapresiasi Jokowi yang melanjutkan komunikasi politik dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Selasa (14/10).

Jokowi juga memastikan safari dilanjutkan ke para ketua umum partai Koalisi Merah Putih. Dalam pertemuan, Aburizal Bakrie menyatakan Golkar tetap berada di koalisi pendukung Prabowo itu. Kita menghargai posisi yang diambil Golkar sebagai partai oposisi yang akan mengawal dan mengontrol pemerintah.

Namun, kita mengingatkan posisi berseberangan itu diambil bukan dalam semangat membalas kekalahan, melainkan sebagai upaya mempraktikkan mekanisme check and balance. Bila didasari kesumat membalas kekalahan, segala kebijakan pemerintah akan dihadang sekalipun kebijakan itu untuk kemaslahatan rakyat.

Bau tak sedap balas dendam begitu menyengat ketika KMP mengubah Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Pilkada. Semangat itu pula yang mendasari penguasaan pimpinan DPR dan MPR. Kita saksikan itu justru menghadirkan respons negatif dari pasar dan publik. Respons seperti itu mestinya menjadi peringatan bagi oposisi untuk tidak asal berbeda.

Ia juga menjadi sinyal bagi Jokowi dan partai pendukungnya untuk senantiasa membuka ruang diplomasi dan komunikasi. Hal itu penting agar para pihak memahami posisi dan fungsi masing-masing tanpa harus ada politik transaksional di dalamnya. Transaksi hanya akan menjadikan fungsi kontrol yang konstruktif tersudut-sudut di ruang demokrasi.

Rakyat telah menaruh harapan besar akan kepemimpinan berbeda dari Jokowi. Kepemimpinan yang bersandar pada kekuatan rakyat dan hanya berjuang untuk kepentingan rakyat. Bukan kepemimpinan yang haus kekuasaan semata dan takut pada kritik lawan politik. Kini saatnya presiden terpilih Jokowi membuktikan bahwa rekonsiliasi tanpa transaksi politik bisa hadir di negeri ini.
sumber;frd

0 komentar:

Posting Komentar