Kamis, 27 Maret 2014

Buku Sejarah Pengakuan Algojo 1965

Jakarta - Tidak banyak buku di sini yang dicetak ulang berkali-kali dalam waktu pendek. Dalam enam bulan terakhir, salah satu buku yang dicetak ulang hingga 5 kali ialah Pengakuan Algojo 1965. Buku ini merupakan hasil investigasi para jurnalis Tempo perihal pembantaian 1965. Bagi mereka yang hidup dekat dengan tahun itu niscaya masih dapat merasakan aroma mencekam yang sulit terlupakan.

sjahrir pengakuan-algojo-1965Terbitnya buku-buku mengenai masa lampau Indonesia oleh kelompok Tempo, yang menerbitkan Majalah dan Koran Tempo, menjadikan kazanah studi sejarah Indonesia semakin menarik. Beberapa serinya tentang Bapak Bangsa mencoba menelisik kembali peran sejarah tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan Soedirman.

Jarak waktu cukup memberi kesempatan kepada para penulisnya untuk meletakkan tokoh-tokoh ini dan memahami berbagai peristiwa historis penting secara lebih jernih. Termasuk ketika mengulas peristiwa dan tokoh sejarah dalam waktu yang relatif lebih dekat, seperti Sarwo Edhi Wibowo dan perannya dalam berbagai peristiwa pasca 1965 serta Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Juga ketika mengangkat tema tentang Wiji Thukul dalam kerangka rezim Orde Baru.

Salah satu aspek menarik dari buku-buku, yang sebelumnya diterbitkan sebagai bagian dari Majalah Tempo, ialah pendekatannya sebagai karya jurnalistik investigasi. Dengan memanfaatkan journalistic tools, para jurnalis Tempo dapat bergerak lebih leluasa dan lebih cepat dalam menuangkan gagasan dan temuan mereka dibandingkan para sejarawan yang berusaha mengikuti pakem akademik secara lebih ketat.

Wawancara dengan para pelaku sejarah yang masih hidup merupakan nilai lebih dari buku-buku ini, yang menjadikan narasi lebih hidup, lebih bernuansa, dan membawa pembaca untuk menyusuri kembali ke masa lampau. Dalam buku Lekra dan Geger 1965, yang diterbitkan Tempo bersama penerbit buku KPG, tim Tempo mewawancarai mereka yang pernah meramaikan keseharian Sekretariat Lekra, di Jl. Cidurian, Jakarta.

Sebagian dari mereka sudah relatif tua, tetapi dengan ingat yang masih tajam tentang apa yang terjadi dalam organisasi mereka dan sepak terjak aktivisnya. Dalam buku Pengakuan Algojo 1965, kita dapat ‘mendengarkan’ kesaksian orang-orang yang mengambil peran sebagai pencabut nyawa pasca peristiwa 30 September.
Karya-karya investigatif ini dapat menjadi alternatif dalam memahami sejarah Indonesia. Pendekatan jurnalistiknya membuka peluang bagi diskripsi yang lebih hidup tentang suasana batin tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Bagi anak-anak muda masa kini, buku-buku yang diterbitkan Tempo ini merupakan jendela untuk mengenal sejarah bangsanya sendiri dengan kacamata yang lebih kaya dibandingkan dengan pelajaran sejarah yang ditularkan di bangku-bangku sekolah.

Perihal kebenaran isinya, orang boleh berdebat, sebab catatan sejarah adalah upaya menulis ulang apa yang telah terjadi di masa lampau di masa kini. Sedangkan dalam rentang waktu yang dilewati itu telah banyak catatan yang hilang, ingatan yang lupa atau disembunyikan, banyak pelaku yang telah tiada, maupun tafsir yang berbeda dari orang-orang yang terlibat di dalam berbagai peristiwa ini.

Dari buku-buku Tempo ini, kita bisa memetik pelajaran betapa bangsa ini telah memeras keringat, menarik kening begitu ketat, dan bahkan menumpahkan darah saudaranya sendiri dalam upayanya menjadikan dirinya bangsa yang layak dihormati. Sebab itu, dalam konteks hari ini, perilaku para politikus yang mengedepankan kepentingannya sendiri sungguh tidak elok.

sumber:tempo

0 komentar:

Posting Komentar