Kamis, 27 Maret 2014

Cara Menjual Diri Caleg Seperti Model Hollywood

Jakarta - Sudah sepekan lebih sudah elite dan partai politik menjual diri. Dibanding pesta rakyat lima tahun silam, kali ini rakyat jauh lebih mudah menentukan pilihan partai politik mana atau elite siapa yang bakal dipilih mewakili mereka di lembaga perwakilan rakyat. Sebanyak 12 partai politik dan lebih kurang lima ribu calon wakil rakyat mulai di tingkat kabupaten/kota hingga pusat pemerintahan, di Jakarta, berkompetisi untuk menjadi pemenang.

Seperti sebuah pertandingan olahraga, perang strategi dan siasat, menjadi sebuah keharusan bagi setiap kontestan peserta kompetisi politik. Strategi paling sederhana dan mudah menggoda pemilih yakni menjual diri melalui spanduk, billboard, banner, atau stiker di kendaraan roda dua maupun roda empat.

Meski cara menjual diri model demikian sudah sangatlah kuno, namun strategi ini harus diakui masih terbilang manjur untuk menggoda rakyat. Apalagi, tidak sedikit para calon wakil rakyat yang sengaja memanfaatkan dinamisisasi politik saat ini. Contohnya, si fulan yang calon wakil rakyat dari partai berondong mamasarkan diri dengan memasang foto tokoh yang sedang populer di setiap spanduk, billboard, stiker hingga kartu nama. Atau dia sengaja memasang gambar sang ketua umum partainya agar terlihat berwibawa.

Semua yang disuguhkan semua serba sama. Seolah sudah menjadi pakem setiap calon wakil rakyat. Dan, suguhan model jual diri para calon wakil rakyat seperti itu setiap hari kita saksikan di semua media ruang terbuka.

Strategi menjual diri model demikian tentu sah-sah saja. Terlebih politik memiliki nilai kenisbian yang sulit diukur dengan norma kelayakan maupun kepantasan. Hanya saja, cara menjual diri seperti itu sengaja memaksa rakyat sebagai pemilih. Rakyat seolah tidak diberikan pilihan yang cerdas untuk menentukan pilihannya.

Dengan bahasa paling sederhana, cara menjual diri seperti itu justru mengesankan ketidakkepercayaan diri dari para elite dalam memasarkan dirinya kepada rakyat. Belum lagi cara-cara menjual diri dengan membagi-bagi uang, sembako hingga obral janji mulai angin topan sampai angin surga.

Apa yang selalu diharapkan dari setiap pemilu yang mulai digelar sejak 1955? Tidak lain sebuah perubahan, kebaruan, dan kesejajaran. Perubahan menjadi sebuah tolok ukur yang selalu diharapkan rakyat di negeri ini. Meski harus diakui sebuah perubahan terkadang membawa petaka dalam dimensi politik, hankam, ekonomi, sosial dan budaya.

Sementara kebaruan adalah ruh baru bangsa ini dalam menginteraksikan setiap fenomena politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari nilai-nilai kebaruan diharapkan melahirkan keselarasan semua sumber kehidupan di negeri ini. Dan, kesejajaran adalah sebuah kemutlakkan --yang hingga kini sejatinya masih sebatas cetak biru-- didorong, dan terus didorong sehingga tidak lagi sebuah abstraksi garis pembatas antara yang berpunya dan yang tidak berpunya. Antara yang kuat dan yang lemah.

Itu yang sejatinya selalu menjadi harapan rakyat di negeri ini pada setiap momen pesta demokrasi. Pun, pada pesta demokrasi 2014 kali ini tiga butir harapan itu tetap menjadi tuntutan yang wajib direalisasikan. Setidaknya, dari pesta kali ini dapat melahirkan pemimpin yang mampu memberi harapan baik bagi negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini.

Meski rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, namun sejatinya rakyat bukanlah pemenang tulen setiap pemilu. Itu sebabnya setiap pesta demokrasi rakyat selalui dihantui sikap skeptis dan apatisme publik terhadap faedah dan kemaslahatan pemilu itu sendiri.

Semua ini karena partai politik sebagai agen penyedia sumber daya manusia bagi kekuasaan lebih mengesankan sebagai sosok pemangsa kekayaan negara ketimbang insan yang punya empati tinggi terhadap derita rakyat. Orientasi partai politik dan organ di dalamnya hanya fokus kepada pesona kekuasaan.

Kalau tujuan pesta demokrasi masih menyasar ke arah seperti itu, sangat-sangat rasional kalau rakyat Pemilu tidak memiliki faedah. Dan, tiga butir harapan tetaplah menjadi sebuah angan-angan alias utupia belaka.

0 komentar:

Posting Komentar