This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 30 Maret 2014

Mata-Mata AS-Inggris Selidiki Hilangnya Malaysia Airlines

Jakarta - Dinas rahasia Inggris sedang menyelidiki hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370, kata menteri transportasi Malaysia, Sabtu (29/3/2014). Pengungkapan bahwa MI6 serta CIA membantu pihak berwenang Malaysia akan menambah spekulasi bahwa pesawat itu dibajak teroris.

Harapan meningkat di kalangan tim pencarian pada Sabtu malam bahwa sebuah puing pesawat itu mungkin akhirnya telah ditemukan, tiga minggu setelah pesawat itu hilang.

Sebuah foto tentang suatu obyek yang mengambang di Samudra Hindia selatan diambil pesawat Angkatan Udara Selandia Baru yang telah menyisir lautan itu untuk mencari sejumlah petunjuk. Sejumlah kapal laut telah dikirim untuk menemukan objek itu, sementara seorang pakar memperingatkan bahwa obyek itu bisa saja merupakan bagian dari peralatan yang biasa digunakan kapal pukat.

Foto dari pihak Selandia Baru itu muncul beberapa jam setelah tim China dan Australia melaporkan telah melihat apa yang merupakan kemungkinan puing-puing pesawat itu di daerah yang sama.
Sampai saat ini, semua apa yang sepertinya merupakan puing-puing terbukti tidak terkait dengan jet penumpang yang hilang tersebut.

Saat sejumlah laporan itu muncul, perhatian beralih lagi ke apa yang mungkin telah menyebabkan pesawat tersebut hilang.

Hishammuddin Hussein, penjabat menteri transportasi Malaysia, mengatakan pada Sabtu bahwa MI6 dan CIA sedang bekerja sama dengan agen mata-mata China untuk menentukan apa yang terjadi pada 239 penumpang dan awak pesawat Boeing 777 itu. Hishammuddin tidak terpaku pada satu teori terkait sebab hilang pesawat itu. Dia mengatakan, hilangnya pesawat itu bisa karena "terorisme, pembajakan, masalah pribadi dan psikologis, atau kegagalan teknis".

"Skenario ini telah dibahas panjang lebar dengan badan-badan intelijen yang berbeda," katanya.
Para penyidik kecelakaan yakin bahwa hilangnya pesawat dan keputusan untuk menonaktifkan sistem komunikasi tampaknya disengaja. Namun mereka tidak menemukan bukti untuk motifnya.

MI6 diduga telah membantu pemeriksaan latar belakang yang luas dari masing-masing 239 penumpang dan awak pesawat itu tetapi tidak ada hal mencurigakan yang telah muncul.

Hishammuddin mengatakan, MI6 juga memeriksa "ping" yang dipancarkan pesawat itu yang kini dimanfaatkan untuk memetakan rute penerbangannya selama tujuh jam setelah sistem komunikasi dinonaktifkan.

"Sekarang kami sedang berbicara tentang data dan citra satelit, CIA telah terlibat, intelijen China telah terlibat, MI6 telah terlibat," kata Hishammuddin.

Pesawat Malaysia Airlines itu hilang dari layar radar dalam penerbangannya dari Kuala Lumpur ke Beijing lebih dari tiga minggu lalu. Penjelasan tentang hilangnya pesawat itu sejauh ini sulit dipahami. Pesawat itu melenceng jauh dari jalur seharusnya, sistem komunikasinya "dengan sengaja" diputus dan diterbangkan ke selatan Samudra India. Pesawat itu diduga telah kehabisan bahan bakar dan jatuh ke laut di lepas pantai Australia.

Penyingkapan bahwa badan-badan intelijen terlibat dalam penyelidikan akan kembali memunculkan spekulasi bahwa hilangnya pesawat itu merupakan tindak kejahatan, bukan kegagalan mekanis.

Penyelidikan polisi Malaysia telah berpusat pada pilot pesawat MH370 itu, Zaharie Ahmad Shah. Tetapi pemeriksaan terhadap sebuah simulator penerbangan yang disita dari rumahnya tidak menemukan adanya "kejahatan", kata Hishammuddin.

Zaharie, 53 tahun, yang merupakan ayah dari orang anak, adalah seorang  pilot kawakan. Ia menggunakan simulator itu untuk bermain game.

Sabtu, 29 Maret 2014

Jokowi Dapat Dukungan Dari Gerakan Kelompok Jakarta Timur

 
JAKARTA – Ratusan musisi jalanan, anak jalanan, dan kaum miskin kota menyatakan diri bergabung dengan gerakan kolompok Aliansi Rakyat Merdeka (ARM). Mereka bergabung dengan kolompok yang dimotori oleh Moh. Jumhur Hidayat itu karena adanya kesamaan visi-misi untuk memenangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Jokowi menjadi Presiden.

Mereka mendeklarasikan diri bergabung ke ARM di Jalan Raya Bekasi, Cakung, Jakarta Timur, Kamis (27/3). Selain memainkan gitar dan bernyanyi, mereka tampak memakai seragam rompi warna hitam, membawa poster, bendera merah putih, dan spanduk berukuran 5 meter bertuliskan ARM “Menangkan PDIP dan Jokowi Sebagai Presiden RI 2014″.

Acara deklarasi musisi jalanan yang bergabung ke ARM dan dihibur musik jalanan ini sebagai langkah awal konsolidasi dalam rangka mengajak masyarakat tanah air memilih dan memenangkan PDIP serta mengantarkan putra Solo, Jawa Tengah, itu untuk menjadi orang nomor satu di negeri yang dihuni sekitara 240 juta manusia ini.

Bachtiar Hasang alias Ucok sebagai sebagai koordinator Musisi Jalanan mengatakan pihaknya mempercayakan Indonesia dipimpin PDIP dan Jokowi. Mereka yakin, ketika PDIP dan Jokowi menjadi Presiden maka penegakan hukum, pengentasan kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi akan semakin membaik.

“Kami percaya dan yakin seyakin-yakinnya PDIP dan Jokowi berpihak kepada wong cilik. PDIP dan Jokowi juga akan mempu mengawal Undang-Undang. Hidup PDIP dan Jokowi,” kata Ucok.
Menurut Ucok, sudah saatnya Indonesia dipimpin oleh Jokowi yang hendak bertekad memperjuangkan wong cilik. Ketika Jokowi menjadi Presiden, Ucok meyakini lapangan pekerjaan akan terbuka. Begitu juga dengan pemberantasan korupsi yang diyakini akan berkurang.

“Maka dengan ini, kami berikrar siap dan bertekad memenangkan PDIP dan Jokowi sebagai Presiden,” pungkasnya.

Menurut Ucok, pola kepemimpinan Jokowi yang berpihak kepada wong cilik sudah terbukti. Hal itu, kata dia, bisa dilihat ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Dikatakannya, jika masyarakat menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik maka PDI Perjuangan dan Jokowi harus dimenangkan pada saat hajatan pesta demokrasi nasional lima tahunan yang akan datang diselenggarakan.

“Jokowi mampu menjunjung tinggi Bhinika Tunggal Ika. Selain itu, Jokowi juga mampu menjaga hubungan internasional dan mengawal NKRI. Pertumbuhan ekonomi akan baik dan lapangan pekerjaan tidak akan sulit dicari,” pungkasnya.
sumber:poskota

Kamis, 27 Maret 2014

Buku Sejarah Pengakuan Algojo 1965

Jakarta - Tidak banyak buku di sini yang dicetak ulang berkali-kali dalam waktu pendek. Dalam enam bulan terakhir, salah satu buku yang dicetak ulang hingga 5 kali ialah Pengakuan Algojo 1965. Buku ini merupakan hasil investigasi para jurnalis Tempo perihal pembantaian 1965. Bagi mereka yang hidup dekat dengan tahun itu niscaya masih dapat merasakan aroma mencekam yang sulit terlupakan.

sjahrir pengakuan-algojo-1965Terbitnya buku-buku mengenai masa lampau Indonesia oleh kelompok Tempo, yang menerbitkan Majalah dan Koran Tempo, menjadikan kazanah studi sejarah Indonesia semakin menarik. Beberapa serinya tentang Bapak Bangsa mencoba menelisik kembali peran sejarah tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan Soedirman.

Jarak waktu cukup memberi kesempatan kepada para penulisnya untuk meletakkan tokoh-tokoh ini dan memahami berbagai peristiwa historis penting secara lebih jernih. Termasuk ketika mengulas peristiwa dan tokoh sejarah dalam waktu yang relatif lebih dekat, seperti Sarwo Edhi Wibowo dan perannya dalam berbagai peristiwa pasca 1965 serta Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Juga ketika mengangkat tema tentang Wiji Thukul dalam kerangka rezim Orde Baru.

Salah satu aspek menarik dari buku-buku, yang sebelumnya diterbitkan sebagai bagian dari Majalah Tempo, ialah pendekatannya sebagai karya jurnalistik investigasi. Dengan memanfaatkan journalistic tools, para jurnalis Tempo dapat bergerak lebih leluasa dan lebih cepat dalam menuangkan gagasan dan temuan mereka dibandingkan para sejarawan yang berusaha mengikuti pakem akademik secara lebih ketat.

Wawancara dengan para pelaku sejarah yang masih hidup merupakan nilai lebih dari buku-buku ini, yang menjadikan narasi lebih hidup, lebih bernuansa, dan membawa pembaca untuk menyusuri kembali ke masa lampau. Dalam buku Lekra dan Geger 1965, yang diterbitkan Tempo bersama penerbit buku KPG, tim Tempo mewawancarai mereka yang pernah meramaikan keseharian Sekretariat Lekra, di Jl. Cidurian, Jakarta.

Sebagian dari mereka sudah relatif tua, tetapi dengan ingat yang masih tajam tentang apa yang terjadi dalam organisasi mereka dan sepak terjak aktivisnya. Dalam buku Pengakuan Algojo 1965, kita dapat ‘mendengarkan’ kesaksian orang-orang yang mengambil peran sebagai pencabut nyawa pasca peristiwa 30 September.
Karya-karya investigatif ini dapat menjadi alternatif dalam memahami sejarah Indonesia. Pendekatan jurnalistiknya membuka peluang bagi diskripsi yang lebih hidup tentang suasana batin tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Bagi anak-anak muda masa kini, buku-buku yang diterbitkan Tempo ini merupakan jendela untuk mengenal sejarah bangsanya sendiri dengan kacamata yang lebih kaya dibandingkan dengan pelajaran sejarah yang ditularkan di bangku-bangku sekolah.

Perihal kebenaran isinya, orang boleh berdebat, sebab catatan sejarah adalah upaya menulis ulang apa yang telah terjadi di masa lampau di masa kini. Sedangkan dalam rentang waktu yang dilewati itu telah banyak catatan yang hilang, ingatan yang lupa atau disembunyikan, banyak pelaku yang telah tiada, maupun tafsir yang berbeda dari orang-orang yang terlibat di dalam berbagai peristiwa ini.

Dari buku-buku Tempo ini, kita bisa memetik pelajaran betapa bangsa ini telah memeras keringat, menarik kening begitu ketat, dan bahkan menumpahkan darah saudaranya sendiri dalam upayanya menjadikan dirinya bangsa yang layak dihormati. Sebab itu, dalam konteks hari ini, perilaku para politikus yang mengedepankan kepentingannya sendiri sungguh tidak elok.

sumber:tempo

Cara Menjual Diri Caleg Seperti Model Hollywood

Jakarta - Sudah sepekan lebih sudah elite dan partai politik menjual diri. Dibanding pesta rakyat lima tahun silam, kali ini rakyat jauh lebih mudah menentukan pilihan partai politik mana atau elite siapa yang bakal dipilih mewakili mereka di lembaga perwakilan rakyat. Sebanyak 12 partai politik dan lebih kurang lima ribu calon wakil rakyat mulai di tingkat kabupaten/kota hingga pusat pemerintahan, di Jakarta, berkompetisi untuk menjadi pemenang.

Seperti sebuah pertandingan olahraga, perang strategi dan siasat, menjadi sebuah keharusan bagi setiap kontestan peserta kompetisi politik. Strategi paling sederhana dan mudah menggoda pemilih yakni menjual diri melalui spanduk, billboard, banner, atau stiker di kendaraan roda dua maupun roda empat.

Meski cara menjual diri model demikian sudah sangatlah kuno, namun strategi ini harus diakui masih terbilang manjur untuk menggoda rakyat. Apalagi, tidak sedikit para calon wakil rakyat yang sengaja memanfaatkan dinamisisasi politik saat ini. Contohnya, si fulan yang calon wakil rakyat dari partai berondong mamasarkan diri dengan memasang foto tokoh yang sedang populer di setiap spanduk, billboard, stiker hingga kartu nama. Atau dia sengaja memasang gambar sang ketua umum partainya agar terlihat berwibawa.

Semua yang disuguhkan semua serba sama. Seolah sudah menjadi pakem setiap calon wakil rakyat. Dan, suguhan model jual diri para calon wakil rakyat seperti itu setiap hari kita saksikan di semua media ruang terbuka.

Strategi menjual diri model demikian tentu sah-sah saja. Terlebih politik memiliki nilai kenisbian yang sulit diukur dengan norma kelayakan maupun kepantasan. Hanya saja, cara menjual diri seperti itu sengaja memaksa rakyat sebagai pemilih. Rakyat seolah tidak diberikan pilihan yang cerdas untuk menentukan pilihannya.

Dengan bahasa paling sederhana, cara menjual diri seperti itu justru mengesankan ketidakkepercayaan diri dari para elite dalam memasarkan dirinya kepada rakyat. Belum lagi cara-cara menjual diri dengan membagi-bagi uang, sembako hingga obral janji mulai angin topan sampai angin surga.

Apa yang selalu diharapkan dari setiap pemilu yang mulai digelar sejak 1955? Tidak lain sebuah perubahan, kebaruan, dan kesejajaran. Perubahan menjadi sebuah tolok ukur yang selalu diharapkan rakyat di negeri ini. Meski harus diakui sebuah perubahan terkadang membawa petaka dalam dimensi politik, hankam, ekonomi, sosial dan budaya.

Sementara kebaruan adalah ruh baru bangsa ini dalam menginteraksikan setiap fenomena politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari nilai-nilai kebaruan diharapkan melahirkan keselarasan semua sumber kehidupan di negeri ini. Dan, kesejajaran adalah sebuah kemutlakkan --yang hingga kini sejatinya masih sebatas cetak biru-- didorong, dan terus didorong sehingga tidak lagi sebuah abstraksi garis pembatas antara yang berpunya dan yang tidak berpunya. Antara yang kuat dan yang lemah.

Itu yang sejatinya selalu menjadi harapan rakyat di negeri ini pada setiap momen pesta demokrasi. Pun, pada pesta demokrasi 2014 kali ini tiga butir harapan itu tetap menjadi tuntutan yang wajib direalisasikan. Setidaknya, dari pesta kali ini dapat melahirkan pemimpin yang mampu memberi harapan baik bagi negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini.

Meski rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, namun sejatinya rakyat bukanlah pemenang tulen setiap pemilu. Itu sebabnya setiap pesta demokrasi rakyat selalui dihantui sikap skeptis dan apatisme publik terhadap faedah dan kemaslahatan pemilu itu sendiri.

Semua ini karena partai politik sebagai agen penyedia sumber daya manusia bagi kekuasaan lebih mengesankan sebagai sosok pemangsa kekayaan negara ketimbang insan yang punya empati tinggi terhadap derita rakyat. Orientasi partai politik dan organ di dalamnya hanya fokus kepada pesona kekuasaan.

Kalau tujuan pesta demokrasi masih menyasar ke arah seperti itu, sangat-sangat rasional kalau rakyat Pemilu tidak memiliki faedah. Dan, tiga butir harapan tetaplah menjadi sebuah angan-angan alias utupia belaka.

Prabowo Menjawab Tudingan Persoalan Pelanggaran HAM

JAKARTA -Menjawab tudingan keterkaitannya dengan persoalan pelanggaran HAM, capres Partai Gerindra Prabowo Subianto tegas membantahnya.

Dalam artikel berjudul `Candidate`s run raises rights concerns` yang diturunkan International New York Times edisi Asia, Kamis (27/3), Prabowo menjawab bahwa dia menjadi kambing hitam dari pelanggaran HAM yagn dilakukan militer Indonesia selama Orde Baru.

"Saya tidak pernah terkait pelanggaran apa pun. Yang ada hanya tuduhan dan tuduhan," kata Prabowo menjawab pertanyaan Wartawan International New York Times, Joe Cochrane.

Conchrane menulis, Prabowo mengatakan kritikan kepadanya selalu sama bahwa ia adalah penentang demokrasi. "Blah, blah, blah. Padahal saya percaya kepada demokrasi dan HAM," kata Prabowo lagi.

Cohcrane menulis, Pemerintah AS sejak tahun 2000 menolak visa Prabowo ke negara itu. Tidak ada penjelasan resmi mengapa Prabowo tak bisa masuk ke AS. Hanya adik Prabowo, Hasjim Djojohadikusumo yang bisa berkunjung beberapa kali ke Washington DC dan membuka dialog dengan pejabat AS.

Satu juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan tidak ada niatan Pemerintah AS untuk menolak Prabowo. Duta Besar AS di Indonesia Robert O Blake menegaskan ia tak mau bertemu dengan kandidat capres Indonesia yang sudah mendeklarasi. Tapi, Blake mengatakan ia siap bekerja sama dengan siapa pun yang terpilih.

Politik Pangan Bung Karno

Jakarta - Pada peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor di tahun 1953, Bung Karno berkata, ”Pangan merupakan hidup matinya bangsa kita.”

Hari ini, lebih dari 60 tahun kemudian, kita masih menyaksikan negeri ini belum berjaya dalam soal pangan. Meski Indonesia adalah negara maritim dengan luas laut yang membuat iri negara lain, konsumsi ikan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara seret lautan seperti Malaysia, bahkan Singapura.

Catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sepanjang 2011 lalu konsumsi ikan Indonesia hanya 31,5 kilogram per kapita per tahun. Jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 55,4 kilogram dan 37,5 kilogram per kapita.

Tak terlihat betapa negeri ini punya garis pantai yang 88.000 km panjangnya. Negeri dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia ini, kini menikmati garam yang harus diimpor sebelum bisa melengkapi santapan kita.

Angka konsumsi daging Indonesia malah lebih tragis, lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia maupun Eropa. Angka konsumsi daging warga Indonesia hanya 2 kilogram per orang per tahun, jauh di bawah Malaysia yang mengonsumsi daging 8 kilogram per orang per tahun. Padahal, pola konsumsi ideal manusia mensyaratkan tak boleh kurang dari 2,9 kilogram.

Angka konsumsi susu Indonesia pun menurut hasil survei yang dilakukan Euromonitor & Internal Tetra Pak tahun 2011 tercatat hanya 12,8 liter per kapita per tahun. Jumlah itu jauh di bawah Malaysia yang mencapai 50,8 liter per kapita per tahun dan India sebanyak 47,1 liter. Bahkan dibanding negara yang baru lepas dari Komunisme rigid seperti Vietnam, yang telah mencatatkan angka 14,3 liter.

Catatan kekurangan ini sengaja dibatasi hanya pada tiga jenis pangan yang berkaitan erat dengan protein hewani, yang diakui memengaruhi langsung kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Melihat angka-angka di atas, harus diakui bahwa lebih dari setengah abad kita merdeka, harapan para founding fathers untuk menyaksikan rakyat Indonesia yang maju, yang tak gampang diakali dan menjadi kuli bangsa lain, masih jauh dari terwujud.

Kita bisa membuat daftar catatan yang lebih membuat miris lagi. Bersangkutan dengan makanan, ternyata hingga saat ini kita hanyalah bangsa yang ‘meminta diberi makan’ negara lain. Bukan bangsa yang bisa berbangga dan membusungkan dada dengan ‘memberi makan’ bangsa-bangsa lain. Kita yang membanggakan kesuburan tanah ini sejatinya hanya pengimpor aneka bahan makanan.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun 2012 kita telah mengimpor beras sebanyak 1,224 juta ton beras; 6,43 juta ton gandum; 775 ribu ton singkong; serta 1,7 juta ton kedelai. Semua yang seharusnya bisa kita hasilkan sendiri di tanah subur yang sejak lama diidamkan bangsa-bangsa lain ini.

Lihatlah, dari kacamata konvensional agama, yang melihat tangan di atas lebih baik dibanding tangan di bawah yang menadah, ternyata kita bukan bangsa yang layak berbangga.

Sementara, harapan untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri, merasa bangga karena menanam, memproduksi dan memakan sendiri hasil bumi yang kita tanam dengan tangan dan keringat bangsa sendiri itu, bahkan kian menjauh. Data yang bisa kita pegang menegaskan, kemandirian pangan itu kian menjadi maya dan fatamorgana.

Paling tidak, karena warga negara yang berkhidmat pada pertanian pun kian menyusut jumlahnya. Pada 2003, Indonesia memiliki kepala keluarga yang berkhidmat di pertanian sebanyak 31,17 juta. Sementara setahun lalu, 2013, angka itu hanya tercatat 26,13 juta saja. Ada penurunan 5,04 juta KK selama satu dasawarsa.

Tentu saja bukan salah mereka. Di sini, menjadi petani belum bisa membuat dada tegak. Negara pun seolah lupa betapa besar jasa mereka. Nasib petani di sini seakan ditakdirkan berjalan bersama keterpurukan. Akibatnya, tak mengherankan bila anak-anak petani jarang melihat profesi itu pekerjaan bernilai tinggi yang patut disyukuri. Sementara dalam kurikulum dan tata nilai pengajaran, negara pun tak pernah mencoba menanamkan kebanggaan.

Anak-anak petani akhirnya melihat pekerjaan bapaknya tanpa bangga, malah nelangsa. Wajar bila mereka memilih bekerja ke sektor industri. Manakala hal itu berjalin-kelindan dengan globalisasi, mereka pun hanya menjadi buruh dunia, menjadi kacung para pengusaha global yang datang ke tanah-tanah yang sejak lama menjadi hak dan menghidupi bapak-kakek dan moyang mereka.

Tak pernah ada kata terlambat untuk sadar dan bertobat. Negara sudah sepatutnya memberi arah yang jelas dan tegas. Kita perlu petani yang bangga karena pekerjaan itu tak hanya menjadi lahan berbagi, tapi juga menjanjikan secara materi dan masa depan. Kita perlu membuat bertani menjadi identitas yang membuat bangga karena nyata memberikan harapan.

Dengan segala cara, kita memang sepantasnya memberi nilai tukar yang lebih layak kepada hasil-hasil pertanian. Sebab, hanya dengan itu kita masih punya harapan untuk menjadikan negara ini negeri yang memberi makan dunia, bukan menadah tangan dan hanya meminta.

Menjadi petani sejatinya adalah pekerjaan ilahiah. Tinggal kita bersama berusaha agar yang ilahiah itu juga menjadi pekerjaan yang layak dalam kacamata dunia. “Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen,”kata petani sekaligus filsuf pertanian Masanobu Fukuoka,” melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia.”

Bila kita berhasil mewujudkannya, tak perlu merebak ketakutan dengan prediksi bahwa 2045 mendatang ada 450 juta warga Indonesia yang harus diberi makan. Sementara di sisi lain kita tahu, ekonom Lester R Brown pada jurnal terkemuka Foreign Policy tahun lalu menulis, dunia ke depan pun akan rawan pergolakan akibat krisis pangan.

Jelas, tanpa cetak biru strategi yang jelas, sesungguhnya kita hanya menanti tragedi terjadi pada anak cucu kita nanti. Dan seharusnya itu tidak dilakukan hanya dengan ekstensifikasi. Bukti telah mengajari, sekian juta hektare hutan ditebang tak menjamin melimpahnya pangan.