Sabtu, 30 November 2013

Amerika dan Kepemimpinan Nasional 2014

 
Jakarta - Suka atau tidak suka, Amerika Serikat dan sekutunya akan campur tangan atau masuk ke dalam kehidupan politik di Indonesia.

“Itulah faktanya, sebab AS berkepentingan besar dengan Indonesia dan Asia Tenggara, sebagaimana China,” kata Nehemia Lawalata, mantan Sekretaris Politik Prof Sumitro Djojohadikusumo.

Kepentingan AS/sekutunya di Asia Tenggara sangat besar, tidak semata sebagai sumber bahan mentah dan pasar, juga tidak semata untuk mengimbangi China, namun kesemuanya sudah menjadi kompleksitas kepentingan AS di kawasan Asia. Di mata AS, Indonesia adalah wilayah strategis yang tak boleh lepas dari layar radarnya. Investasi AS di Indonesia memang tidak sebesar Jepang, namun RI adalah jangkar stabilitas di Asia Tenggara.

Sebagai gambaran, realisasi investasi di Indonesia sampai Maret 2012 mencapai US$5,7 miliar. Investasi ini sampai pada kuartal I 2012 masih didominasi tiga negara investor, yakni Singapura, Jepang, dan Korea Selatan (ketiganya sekutu AS).

Singapura menanamkan modalnya di Indonesia sebesar 20,2 persen atau nilai investasi US$1.159,2 juta. Disusul Jepang sebesar 11 persen (US$629,5 juta) dan Korea Selatan 8,9 persen (US$510,5 juta).

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Januari 2012 mencatat pemodal asing terbesar berasal dari Singapura yang menanamkan investasi hingga US$5,1 miliar. Diikuti Jepang sebesar US$1,5 miliar, Amerika Serikat (AS) US$1,5 miliar, Belanda senilai US$1,5 miliar, dan Korea Selatan US$1,2 miliar. Adapun total investasi AS/sekutunya di Indonesia sejak era Orde Baru sampai era reformasi ini, tentu sangatlah besar, miliaran dollar AS.

Dengan menilik besarnya investasi AS/sekutunya di Indonesia, maka dalam globalisme, tak bisa ditolak intervensi atau masuknya kepentingan AS dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Artinya, AS berkepentingan untuk menyokong atau minimal tahu siapa capres-capres yang muncul dan didukung rakyat.

AS juga mempelajari aliran politik yang berkembang dalam kepartaian Indonesia dewasa ini. AS bahkan memprediksi, sangat mungkin lima parpol lolos ke parlemen yakni PDIP, Golkar dan Demokrat ditambah dua parpol yang masih misteri. Lima parpol itu identik dengan deskripsi aliran politik yang dicatat Herbert Feith dalam buku klasiknya terbitan Cornell University AS, Indonesian Political Thinking 1945-1965, dengan editor bersama Lance Castle.

Dalam hal ini, Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, Rizal Ramli, Aburizal Bakrie yang kebetulan dari luar Jawa, tidak perlu ragu untuk mengartikulasikan dan menggaungkan gagasan ekonomi-politiknya di ruang publik. Mereka setara dengan para pemimpin sipil Jawa seperti Megawati Soekarnoputri, Mahfud MD, Soekarwo, Ahmad Heryawan, Sri Sultan HB X, Gita Wirjawan dan kalangan sipil lainnya. Para kandidat dari luar Jawa itu juga setara dengan calon-calon dari kalangan militer seperti Wiranto, Prabowo dan Pramono Edhie Wibowo, yang juga masih dipertimbangkan rakyat.

Harus dicatat bahwa rakyat dari Sabang sampai Merauke lebih memilih pemimpin sipil ketimbang militer, seperti terbukti dari pilkada dari Aceh sampai Papua dimana calon-calon sipil yang menang. Itu suatu pertanda bahwa kandidat sipil sangat kuat dari sisi posisi dan citranya di mata rakyat ketimbang calon dari militer yang masih belum mendapat tempat di hati sanubari rakyat. Mengapa?

Karena calon militer berpenampilan cenderung serba komando, represif, kaku dan otoritasnya tampak kelebihan sehingga tampak menakutkan bagi rakyat. Berbeda dengan pemimpin sipil yang paham aspirasi rakyat, rendah hati dan tahu diri di mata rakyat sehingga mudah diterima.

Di negara-negara maju, hampir pasti calon sipil yang memenangkan pemilihan presiden atau perdana menteri, karena dalam kehidupan demokrasi yang maju, kandidat sipil secara umum lebih rasional, dialogis, kreatif dan inovatif ketimbang calon militer yang sejak awal pendidikannya dididik dalam sistem komando, top-down dan kaku.