Jumat, 15 November 2013

BPK Bentuk Pusat Data Keuangan Negara



YOGYAKARTA – Pengembangan sistem informasi keuangan nasional sangat dibutuhkan untuk mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Karenanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengembangkan pembentukan pusat data keuangan negara untuk mencegah terjadinya korupsi di berbagai sektor termasuk pendidikan.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua BPK RI Hadi Poernomo dalam dialog terbuka ”Peran BPK Dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara Melalui Sistem Informasi”, di Sekolah Pascasarjana UGM.

Dia menyebutkan bahwa selama ini di Indonesia belum memiliki pusat data keuangan nasional sehingga pemeriksaan keuangan kurang efektif dan efisien. Berbeda dengan Amerika Serikat yang sejak tahun 1936 telah memiliki pusat data yaitu Social Security Number (SSN) dan Malaysia yang memiliki Multimedia Super Coridor sejak tahun 1996.

”Kami tidak punya pusat data, sementara polisi dan BPN punya. Maka dari itu BPK berusaha menyatukan data-data di lembaga kementrian untuk membentuk pusat data keuangan negara atau Sinergi Nasional sistem Informasi (SNSI),” jelasnya.

Pusat data BPK akan terhubung secara online dengan data yang dimiliki lembaga atau kementerian. Dari pusat data tersebut selanjutnya akan digunakan untuk pemeriksaan secara elektronik audit.

”Dengan adanya pusat data BPK yang tersambung secara online dan pemeriksaan dengan e-audit akan memudahkan pemeriksaan dan mengurangi persinggungan antara pemeriksa dengan lembaga yang diaudit. Pemeriksaannya pun bisa lebih cepat, mudah, dan efisien. Apabila ditemukan kesalahan bisa segera diperbaiki sehingga secara preventif adanya penyimpangan bisa diminimalisir,” urainya.

Dalam kesempatan tersebut Hadi Poernomo juga menyampaikan, pada semester I tahun 2013 BPK telah mengungkapkan 13.969 kasus senilai Rp 56,98 triliun. Kasus tersebut terdiri dari 4.589 kasus senilai Rp 10,74 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, 5.747 kasus merupakan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), dan 2.854 kasus penyimpangan adminsitrasi.

Ditambah dengan 779 kasus senilai Rp 46,24 triliun merupakan temuan ketidakhematan, inefisiensi, dan ketidak efektifan.

0 komentar:

Posting Komentar