Sabtu, 30 November 2013

Pengertian Hakim

Nasional - WESLEY E Brown adalah hakim tertua di Amerika Serikat. Pada usianya yang 103 tahun ia masih aktif dan memimpin sidang dengan tegas, memarahi pengacara dengan kata-kata yang tajam, bahkan jika perdebatan pengacara dengan jaksa bertele-tele Wesley memotong: jangan-jangan saya tidak akan menyaksikan perkara ini selesai....

Presiden John F Kennedy mengangkat Wesley sebagai hakim pada tahun 1962. Ketika Hukum Online.Com menurunkan tulisan itu bulan September tahun 2010, Wesley masih segar bugar. Sejak dia diangkat jadi hakim sampai usianya yang lanjut, pangkatnya tak pernah naik dan tetap menjadi hakim di pengadilan negeri. Boro-boro jadi hakim agung, hakim tinggi pun tidak. Tapi dia menguasai benar bidangnya.

Konstitusi di AS tidak membatasi umur hakim. Hakim berhenti karena meninggal dunia atau mengundurkan diri. Hakim berusia lanjut tetap dibolehkan menjalankan tugasnya asal masih sehat.

Jangan bandingkan dedikasi Wesley dengan hakim-hakim di Indonesia. Pemerintahan yang semakin carut marut, rakyat yang semakin beringas, korupsi yang menjadi-jadi, peredaran narkoba yang semakin berani, sengketa pemilihan kepala daerah yang tidak ada habisnya, antara lain karena lemahnya penegakan hukum.

Cerita hakim nakal seperti sudah menjadi lagu lama yang tidak merdu lagi. Kalau hakim Mahkamah Konstitusi (MK), apalagi ketuanya ditangkap KPK karena makan suap, ibarat lagu lawas yang baru dirilis. Sudah beberapa tahun Ketua MK Akil Mochtar diincar, dilaporkan masyarakat karena menerima suap untuk setiap keputusan sengketa pemilukada, baru kali ini tertangkap basah.

Wajar kalau rakyat marah karena selama ini institusi penegak hukum yang dinilai paling bersih hanya KPK dan MK. Ternyata MK nya bobrok. MK itu lembaga hukum tertinggi yang menentukan tegaknya konstitusi. Keputusannya final dan mengikat.

Sebagai peradilan konstitusi sebenarnya MK cukup jauh dari godaan. Lembaga ini hanya menguji undang-undang, menangani sengketa antarlembaga negara, memutuskan pembubaran parpol dan menangani sengketa pemilu legislatif dan presiden.

Mengadili sengketa pemilukada tidak tercantum dalam kewenangan MK yang diatur UU. Tapi MK mau terima dan inilah yang telah mengubah warna MK karena kasus yang diajukan sarat dengan kepentingan. Untuk memenangkan sengketa, orang mau berbuat apa saja termasuk menyediakan dana yang tidak kecil. Hampir setiap pemilukada melahirkan sengketa, jumlahnya ratusan dan itu ladang subur. Menang di pemilukada tapi kalah di MK sudah biasa.

Hakim MK itu tidak semua profesional di bidang peradilan, mereka mewakili 3 unsur: Pemerintah, Mahkamah Agung dan DPR. Mereka melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR. Tapi ada juga yang main selonong seperti Patrialis Akbar, politisi PAN yang diangkat menjadi hakim konstitusi mewakili pemerintah.

***

Apa bedanya dengan hakim Mahkamah Agung? Mereka sama-sama hakim, hanya obyek yang ditangani berbeda. Hakim MA menangani semua kasus di luar konstitusi. Kewenangannya untuk uji materi hanya setingkat peraturan pemerintah. Tapi problemnya juga sama, banyak keputusan yang sering tidak memenuhi rasa keadilan.

Bukan berarti bahwa Indonesia tidak punya hakim yang baik. Di masa lalu orang sering menyebut-nyebut nama hakim agung Bismar Siregar yang berintegritas tinggi dan berani.

Untuk dekade sekarang kita memiliki Hakim Agung Artijo Alkostar, mantan pengacara dari Yogyakarta yang lolos seleksi menjadi hakim agung. Keputusannya selalu memberi rasa keadilan pada rakyat, jujur dan koruptor ditangannya tidak akan selamat.

Sayangnya, tidak banyak hakim seperti itu. Yang sering kita dengar justru keputusan yang aneh. Misalnya hakim Peninjuauan Kembali (PK) memalsu putusan, buronan mengajukan PK diterima dan bebas seperti kasus Sujiono Timan. Padahal buronan tidak boleh mengajukan PK. Kini kasusnya masih ditangani Komisi Yudisial.

Cara rekrutmen hakim agung berbeda dengan hakim konstitusi. Hakim agung membuka jalur nonkarier, untuk mereka yang ahli hukum tapi bukan hakim. Artijo Alkostar juga hakim agung nonkarier.Tapi cara yang ditempuh selama ini masih punya kelemahan.

Ada pendapat hakim MK maupun MA hendaknya direkrut oleh lembaga atau komisi yang didalamnya terdapat para ahli yang netral, bukan DPR. Kalau lewat DPR akan muncul kepentingan, transaksi dll. Ini menyebabkan hakim yang dipilih tidak selalu yang terbaik.

Di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi sistemnya sudah mapan. Tapi soal kejujuran walahualambisawab. Kita sering mendengar hakim dan hakim Tipikor di daerah dicokok KPK, ini bukti bahwa sistem yang baik belum jaminan hasilnya juga baik, apalagi sistemnya jelek. Kontaminasi dari praktek sehari-hari sangat berpengaruh.