Minggu, 23 Februari 2014

Merevisi RUU KUHAP KPK

Jakarta – Pembahasan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) ditujukan untuk memutilasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya dalam hal penyadapan.

Itu disampaikan aktivis Masyarakat Sipil Anti-Korupsi (Kompak) Fadjroel Rahman yang dihubungi di Jakarta, Sabtu (22/02). “Karena untuk penyadapan itu KPK harus minta izin kepada pengadilan, atau hakim pengawas,” papar Fadjroel.

Menurut dia, kasus-kasus korupsi besar yang berhasil diungkap KPK selama ini lewat penyelidikan dengan cara penyadapan. Bahkan, kasus tangkap tangan yang juga diungkap KPK juga setelah sebelumnya dilakukan penyadapan.

“Sebab itu, pembahasan RUU KUHP dan KUHAP ditujukan untuk memutilasi kewenangan KPK. Apalagi dalam RUU KUHP dan KUHAP itu tidak ada lagi tahap penyelidikan, tapi langsung tingkat penyidikan,” papar Fadjroel.

Ia mengatakan kalau KPK tidak memiliki kewenangan penyelidikan, maka berbahaya bagi KPK karena KPK, lembaga penegak hukum yang tidak mengenal istilah SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Dihubungi terpisah, pakar Hukum Tata Negara Margarito mengatakan dirinya setuju KUHP dan KUHAP perlu direvisi. Subtansi yang perlu direvisi adalah masalah kewenangan penyadapan yang dilakukan penegak hukum, dan ada substansi lainnya yang perlu direvisi.

“Saya setuju kewenangan penyadapan oleh aparat penegak hukum tidak perlu minta izin kepada pengadilan, atau lembaga apapun nantinya,” papar Margarito.

Namun, kata dia, sifatnya pribadi dari hasil penyadapan itu tidak perlu diungkapkan kepada publik. “Jadi hasil penyadapan tersebut yang diungkapkan ke publik sebatas dari kasus yang sedang diselidikinya,” papar Margarito.

Selain itu, Margarito tidak setuju dihilangkannya kewenangan penyelidikan yang dilakukan penegak hukum, dan langsung ke tingkat penyidikan. “Saya juga tidak setuju aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka,” papar Margarito.

0 komentar:

Posting Komentar