Senin, 24 Juni 2013

DPR Dan Keputusannya Taikkan BBM

         

Jakarta - MENAIKKAN harga BBM, dari tahun ke tahun selalu diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat. Itulah sebabnya selalu muncul protes setiap pemerintah mau menaikkan harga BBM.

Janganlah lupa ketika Pak Harto mengeluarkan Keppres No 69 dan 70 Tahun 1998? Keppres tentang kenaikan harga BBM dan TDL (tarif dasar listrik) karena dinilai hanya akan semakin memberatkan beban rakyat. Maka, DPR sebagai penampung aspirasi rakyat waktu itu dengan cepat bereaksi, mengundang pemerintah.

Tiga kali pertemuan dengan pemerintah, yakni tanggal 8, 14, dan 15 Mei 1998, DPR mendesak agar pemerintah mencabut kebijakan itu. Akhirnya Pak Harto selaku presiden mencabut Keppres No 69 dan 70 Tahun 1998 itu.

Apa itu artinya? Artinya, kalau para anggota DPR benar-benar mau mendengar dan memperhatikan aspirasi rakyat, mereka bisa mendesak pemerintah untuk mengubah keputusannya.

Begitu pula yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM, demo terjadi di mana-mana. Apa yang terjadi? Yang berdemo terus berdemo, yang bersidang di gedung DPR toh tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka mengetok palu tanda setuju perubahan APBN.

Pada APBN Perubahan itu terdapat mata anggaran BLSM yang dialokasikan sebagai bantuan langsung sementara kepada masyarakat. Istilahnya sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM. Pengalaman yang lampau berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang justru memicu masalah baru sehingga ada yang meninggal dunia. Sehingga rakyat berseloroh: BLT diartikan ”Bantuan Langsung Tewas”.

Apa pun alasan pemerintah menaikkan harga BBM, apa pun alasan para anggota DPR menyetujuinya, satu hal yang pasti, pada akhirnya rakyat harus menerima apa keputusan mereka, dengan hati kecewa dan luka.

Memang tidak sedikit anggota DPR menolak rencana kenaikan harga BBM itu. Tapi, coba cermati, hal itu mereka lakukan tak lebih untuk pencitraan diri dan partainya menjelang Pemilu 2014. Mereka ingin tetap dicap sebagai pembela rakyat, sehingga rakyat akan memilihnya. Padahal, sesungguhnya rakyat tidak pernah merasa mereka bela.

Keberhasilan mereka membangun citra diri sebagai pembela rakyat pada akhirnya tidak mereka gunakan untuk kemakmuran rakyat. Begitu duduk di lembaga tinggi negara itu, mereka asyik mengurusi kepentingan diri sendiri, kepentingan keluarganya, kepentingan kelompoknya, kepentingan partainya. Tidak perlu menunjukkan bukti tentang ini, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka duduk di DPR bukan untuk mewakili rakyat, melainkan mewakili partai, mewakili kelompok kepentingan elite.

Saatnya para anggota DPR kembali menjalankan fungsinya sebagai representasi rakyat, bukan representasi partai atau kelompok elite. Kalau tidak, buat apa ada DPR? Sebagaimana di katakan para pengamat: Ganti saja namanya jadi DPP (Dewan Perwakilan Partai).

0 komentar:

Posting Komentar