Jalur - Indonesia pernah dua kali dihantam badai krisis ekonomi pada 1997 dan 2008. Pemerintah jungkir balik untuk bisa melepaskan negara ini dari situasi sulit tersebut.
Lalu seperti apa kondisi Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi? Dan apa strategi pemerintah untuk membebaskan Republik ini dari jerat krisis?
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Sonny Loho yang menyampaikan paparan Menteri Keuangan Chatib Basri, merasa bangga Indonesia telah melalui krisis keuangan dalam dua periode.
Ia menjelaskan, Indonesia berada dalam sebuah kondisi fiskal yang sangat nyaman sebelum Juni 1997. Saat itu, Sonny mengatakan, negara ini memiliki tingkat inflasi rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari US$ 900 juta dan cadangan devisa (cadev) di atas US$ 20 miliar.
"Tapi pada Juli 1997, gelombang krisis keuangan global melanda Indonesia membuat posisi fiskal nyaman kita berakhir dan berbalik drastis," ucapnya saat Peluncuran Buku reformasi Pengelolaan Kas di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (16/10/2014).
Sonny bilang, kondisi ini membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tenggelam hingga 600 persen dalam satu tahun atau merosot dari Rp 2.500 per dolar AS di 1997 menjadi Rp 17.000 per dolar AS pada Januari 1998.
Arus modal keluar pun meningkat pesat, PBB turun 14 persen dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. "Menurut Moodys peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi junkbond, sehingga ekonomi mengalami penurunan 13,2 persen. Dan tekanan politik telah memperkeruh krisis ekonomi," tegas dia.
Untuk membebaskan dari belenggu krisis, kata Sonny, telah mengambil kebijakan fiskal konservatif dan prundent yang berfungsi signifikan terhadap akumulasi surplus.
"Kebijakannya terdiri dari penerimaan pajak yang melebihi target pinjaman batas maksimum serta pencairan anggaran di bawah pagu. Kebijakan manajemen dalam mengelola likuiditas," lanjutnya.
Setelah itu, cerita dia, Indonesia kembali diguncang krisis global pada 2008 meski tak sehebat 1998. Secara fundamental Indonesia lebih tahan terhadap gejolak tersebut karena tekanan politik tidak terlalu besar.
Ia menambahkan, sektor perbankan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada posisi stabil di kisaran 6,3 persen karena reformasi fiskal mampu membuat pasar percaya.
"Belajar dari krisis ekonomi 1998, krisis 2008 telah diantisipasi dengan menyiapkan protocol management crisis," jelas Sonny.
Tujuan utamanya, tambah dia, mengelola risiko menghadapi krisis, memulihkan kepercayaan publik atas kondisi ekonomi dan perbankan karena kepercayaan publik sangat penting untuk menghindari rush dan ketidakberdayaan sistemik seperti yang terjadi di 1998.
"Jadi reformasi kelembagaan negara di Indonesia merupakan pelajaran berharga dan penanganan krisis ekonomi fundamental pada masa lalu. Ini sebuah revolusi dalam keuangan negara," pungkas Sonny.