Jakarta - Asal Mula Kampung 'Seribu Nisan' Makam Putroe Ijo di Gampong Pande atau dikenal juga dengan Kampung ‘Seribu Nisan’ tercatat sebagai perkampungan keluarga kerajaan atau Kandang Aceh.
Ihwal Gampong Pande bermula saat Sultan Johan Syah (1203-1234) mendirikan Istana Kerajaan Aceh Darussalam, tepatnya di tepian Krueng (Sungai) Aceh atau Kuala Naga, pada 1 Ramadan 601 Hijriah atau 22 April 1205 Masehi.
Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Banda Aceh yang kini berusia 809 tahun. Pada 22 April 2014, Pemkot Banda Aceh menggelar wisata sejarah napak tilas ke titik nol, melibatkan ratusan siswa dan unsur pemerintahan. Mereka berkunjung ke Gampong Pande, sebagai rangkaian kegiatan HUT Banda Aceh.
“Melalui Gampong Pande kita mengenang Kota Banda Aceh dan melanjutkan peruangan. Dulu Islam berjaya di sini,” terang Plh Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal.
Sejarah mencatat, Sultan Johan Syah mendirikan Istana Kerajaan Aceh Darussalam setelah ia sukses membantu Kerajaan Indra Purba Lamuri menaklukkan serangan pasukan Kerajaan Chola, India.
Dalam bukunya, dua peneliti sejarah, NA Baloch dan Lance Castle, menyebutkan, Kerajaan Lamuri berpusat di Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar, atau sekarang lokasi tersebut dekat dengan Pelabuhan Malahayati.
Selain memenangkan peperangan, Sultan Johan Syah juga berhasil meleburkan Kerajaan Indra Purba dalam Kerajaan Aceh atau Dinasti Meukuta Alam . Kerajaan Hindu dan Budha beserta rakyatnya juga berhasil di-Islamkan.
Sebagai wujud terima kasih, Maharaja Indra Sakti, Raja Indra Purba, kemudian menikahkan putrinya, Baludari, dengan Sultan Johan Syah.
Bandar Lamuri yang sebelumnya menjadi Ibu Kota Kerajaan Indra Purba berganti nama menjadi Bandar Darussalam atau Kota Surga. Kemudian berganti lagi menjadi Bandar Aceh Darussalam yang berpusat di Gampong Pande. Bandar Aceh Darussalam selanjutnya disebut Banda Aceh.
Belanda sempat mengganti nama Banda Aceh menjadi Kutaraja atau Kota Raja untuk menghilangkan jejak kejayaan Kerajaan Aceh yang berkembang di Gampong Pande.
Pergantian itu dilakukan saat invasi kedua ke Aceh. Penjajah berhasil menduduki keraton atau kawasan istana Kerajaan Aceh pada 24 Januari 1874. Pada invasi pertama 1873, Jenderal Pasukan Belanda, Rudolf Kohler, tewas di tangan pasukan Aceh dalam pertempuran di Masjid Raya Baiturrahman.
Sejarawan Aceh yang juga Kepala Museum Negeri Aceh, Nurdin Ar menjelaskan, Bandar Aceh Darussalam dulu merupakan kota maju dan paling sibuk dengan aktivitas ekspor-impor di Selat Malaka dan Asia Tenggara. Bukan hanya dari segi ekonomi, budaya dan Islam juga berkembang pesat.
Kegemilangan Bandar Aceh Darussalam mulai redup ketika Stamford Raffles dari Inggris mendirikan Singapura serta menjadikan negara itu sebagai kota perdagangan bebas bersama Pulau Pinang.
Menurut dia, Bandar Aceh sejak dulu terkenal dengan daerah yang kosmopolitan. Berbagai suku bangsa hidup rukun, seperti warga Thionghoa yang kini mendiami kawasan Peunayong. Peunayong artinya memayungi atau mengayomi.
“Jadi warga Thionghoa di sana tetap dilindungi warga lokal walaupun mereka berbeda keyakinan. Ini jelas terlihat sampai sekarang. Walaupun Aceh sudah memberlakukan syariat Islam tetapi warga Thionghoa di sana tidak pernah diusik,” tutur Nurdin.
Sahibul riwayat menyebut, ada dua dinasti besar yang berkuasa di Banda Aceh kala itu. Selain Meukuta Alam di Gampong Pande yang sudah ada sejak abad XIII, ada pula Dinasti Darul Kamal yang berpusat di area keraton, lokasi Meuligoe (pendopo) Gubernur Aceh sekarang.
Namun, dua dinasti itu kemudian melebur menjadi Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di area keraton. Kerajaan-kerjaan lain, seperti Pasai, Peurlak, Pedir, dan lainnya, ikut bersatu di bawah kekuasaan Aceh Darussalam.
Namun kelamaan, pusat kota dinasti itu mulai bergeser dari Gampong Pande ke pusat Kota Banda Aceh sekarang. Pergeseran tersebut diyakini disebabkan oleh tsunami purba yang melanda kawasan itu. Jejak Istana Kerajaan di Gampong Pande kini juga tak bersisa.
Berdasarkan data kepurbakalaan, Gampong Pande sudah tiga kali dihantam tsunami. Penelitian terhadap paleotsunami sejak 2011 yang dipimpin Ketua Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syah Kuala, Nazli Ismail, diperkirakan tsunami pertama melanda Pande pada pertengahan abad XIV.
Pada 500 tahun setelah itu, bencana kembali menghantam Gampong Pande. Tsunami terakhir pada 26 Desember 2004 silam yang menewaskan hampir 200 ribu orang dan meluluhlantakkan Banda Aceh.