Minggu, 13 Oktober 2013

Modus Hakim MK Memainkan Sengketa Pilkada

 
Jakarta - Setidaknya ada empat modus yang digunakan hakim Mahkamah Konstitusi untuk memainkan sengketa pemilihan kepala daerah demi mendapatkan fulus.

"Pertama hakim sebenarnya sudah tahu permohonan akan ditolak. Kemudian dia memeras pemohon menyerahkan sejumlah uang," ungkap ujar pakar hukum tata negara, Refly Harun, dalam diskusi "Pilkada dalam Pusaran Kalkulator MK" di Gambir, Jakarta, Minggu (13/10)

Modus kedua, pemenang pilkada yang digugat dalam sebuah sengketa, paranoid. Mereka sudah dibayangi ketakutan jika sengketa Pilkada sampai ke meja MK. Maka mau tidak mau harus membayar agar menang. "Karena takut kalah, dia membayar hakim duluan. Padahal tanpa membayar pun dia bisa menang," sambung Refly

Ketiga, ada kemungkinan hakim MK yang bersangkutan sudah tahu hasil rapat permusyawaratan Hakim MK. Lalu terjadilah pemerasan terhadap pemenang sengeketa.

Terakhir, keputusan Hakim MK bisa membalik keadaan. Hal ini, diakui Refly sangat meragukan dan merugikan. Sebab, yang menang jadi kalah dan yang kalah jadi menang.

Kendati demikian, Refly enggan menuduh apakah dalam kasus Akil Mochtar, hakim lainnya juga terlibat. Pasalnya MK bersifat kolektif kolegial dan ada panelnya. Oleh karenya, Refly mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan.

"Tapi, KPK jangan membatasi kasus Pilkada Lebak dan Gunung Mas saja. Karena ternyata lebih luar biasa dari uang suap ini adalah fakta perusahaan Akil Mochtar bisa menampung uang ratusan miliar ini yang harus ditelusuri," demikian Refly.

0 komentar:

Posting Komentar