"Kami berterima kasih pada Presiden Jokowi, tapi kami minta semua tahanan politik, termasuk dari Kepulauan Maluku, juga dibebaskan," kata salah satu narapidana yang dibebaskan, Linus Hiluka, dalam pernyataan tertulis yang diterima Tempo pada Senin, 11 Mei 2015.
Menurut Linus, pada 9 Mei 2015 lalu Jokowi yang didampingi istrinya Iriana Widodo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, dan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal mendatangi penjara Abepura. Mereka menemui kelima tahanan politik: Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka, dan Jefrai Murib, lantas berbicara selama 15 menit. Dalam pertemuan itu, Jokowi mengatakan telah mengabulkan permintaan grasi para tahanan.
Jokowi, kata Linus, berkata inisiatif pembebasan datang dari dirinya sendiri. Sebab, bila menunggu proses amnesty, maka harus melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. "Beliau minta maaf atas apa yang dilakukan aparat keamanan terhadap kami selama 12 tahun terakhir," ucap Linus.
Pada kesempatan yang sama, Jokowi menegaskan bahwa pemberian grasi pada lima orang itu hanyalah awal.
Linus mengimbau agar DPR mendukung rencana Jokowi membebaskan semua tahanan politik. Salah satunya adalah Filep Karma, yang sama-sama ditahan di penjara Abepura. Filep Karma dipenjara sejak 1 Desember 2004 karena melakukan peringatan deklarasi bangsa Papua 1961 dengan pidato soal makin terpinggirkannya masyarakat asli Papua sejak Indonesia resmi berintegrasi dengan Papua pada 1969. Sejak dipenjara, Filep Karma terus menolak pemberian remisi. Dia juga menolak meminta grasi karena seolah mengakui bersalah.
Kelima narapidana tersebut tersangkut kasus pembobolan gudang senjata Kodim Wamena, 4 April 2003. Mereka dihukum penjara mulai dari 19 tahun hingga seumur hidup. Setidaknya, ada 60 tahanan politik di Papua dan Maluku yang dipenjara karena menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Aktivis nasional maupun internasional menyuarakan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia pada 1 Mei 1963, pembatasan hak orang asli Papua diberlakukan, termasuk dengan melarang jurnalis dan pekerja kemanusiaan internasional masuk ke Papua. Dalam kunjungannya ke Papua kemarin, Jokowi telah menghapus larangan tersebut dan membebaskan jurnalis asing meliput di Papua.
sumber:tempo