Jakarta - Tumbuh dan suburnya paham radikalisme tak lepas dari praktik ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Salah satu tanda ketidakadilan itu adalah maraknya korupsi yang terjadi di semua lapisan masyarakat.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan, tumbuhnya radikalisme membahayakan Indonesia. Apalagi sampai mereka berhasil membentuk sebuah negara. "Ideologi mereka membahayakan Indonesia," kata Mahfud saat halaqah kebangsaan di Pondok Pesantren Darul Maarif, Bandung, Jawa Barat.
Menurut Mahfudz, salah satu alasan mereka mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila itu, adalah adanya rasa ketidakadilan. Karena itu, Mahfud berpandangan korupsi di Indonesia harus dibabat habis. Untuk menimbulkan efek jera, Mahfud setuju orang yang merampok uang negara dihukum mati.
"Undang-undang sekarang koruptor maksimal dihukum mati, tapi dengan syarat. Kalau menurut saya tak perlu pakai syarat," ungkapnya.
Mahfud menjelaskan, syarat yang disebutkan dalam undang-undang adalah jika negara dalam kondisi krisis. "Krisis itu bisa ditafsirkan macam-macam. Makanya tak perlu ada syarat. Jadi koruptor maksimal dihukum mati," terangnya.
Namun, untuk merubah undang undang koruptor dihukum mati membutuhkan pemimpin yang jujur dan berani. "Jadi tergantung siapa nanti yang terpilih menjadi presiden. Kalau yang terpilih didukung oleh koruptor ya pasti sulit," katanya.
Di tempat yang sama, pengamat politik, Yudi Latif mengatakan, demokrasi di Indonesia terus berkembang. Sayangnya, perkembangan yang ada tak menguntungkan bagi partai-partai berlabel Islam. "Gairah orang beragama berjalan baik, tapi partai Islam suaranya merosot semua," ujarnya.
Kemerosotan itu, kata Yudi disebabkan perkembangan demokrasi yang mengandalkan uang dan kekuatan. "Dalam demokrasi yang mengandalkan uang, kekuatan parpol Islam akan makin terpuruk," terangnya.
NU salah satu pihak yang dirugikan dengan perkembangan demokrasi dengan kekuatan uang tersebut. "Orang NU akan kalah dua kali sekaligus. Kalah politik dan kalah ekonomi. Siap saja, orang NU jadi gembel," tegasnya.
Parahnya, katanya, pihak yang sangat berkuasa di Indonesia sekarang ini adalah partai politik. Mereka bisa mengatur segala-segalanya di Indonesia. "Padahal saham ormas lebih banyak dari partai politik. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka," jelasnya.
Halaqah nasional kebangsaan dihadiri ratusan ulama dan cendekiawan pondok pesantren. Selain membahas masalah kebangsaan, halaqah ini juga membahas masalah keumatan dan keagamaan.
Inisiator kegiatan ini, KH Hasyim Muzadi mengatakan, kegiatan ini terselengara berangkat dari kegelisahan para kiai dan cendekiawan pesantren melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini.
“Acara serupa telah dilaksanakan di pesantren Al-Hikam Depok, bulan lalu. Kemudian muncul keinginan dari para kiai untuk digelar di daerah-daerah. Kali ini digelar di Bandung,” katanya.
Menurutnya, kondisi bangsa Indonesia saat ini sangat tak menentu. Politik menjadi rasa transaksi, hukum masih jauh dari rasa keadilan, dan ekenomi masih jauh dari kesejahteraan. “Kenapa itu semua terjadi dan bagaimana solusinya? Itu yang menjadi salah satu bahasan dalam halaqah ini,” katanya.
Parahnya, kata pengasuh pesantren Al-Hikam ini, di tengah banyaknya problem yang dihadapi, partai politik mengendalikan banyak lembaga negara, belum melakukan apa-apa. ”Karena itulah, para kiai dan cendekiawan ingin menyumbangkan pemikiran untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut,” terang mantan Ketua Umum PBNU itu.