Hakim konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat berbeda (dissenting opinion) dari rekan-rekannya. Ia lebih setuju jika minimal pernikahan dini bisa dilakukan pada usia 18 tahun bagi wanita.
Menurutnya, jika batas pernikahan dini, yaitu 16 tahun, sangat membahayakan kelangsungan hidup yang bersangkutan dan tumbuh serta menempatkan perempuan tersebut dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi.
“Perkawinan itu membutuhkan kesiapan fisik, psikis, sosial, ekonomi, intelektual, budaya dan spiritual,” kata Maria Farida di Gedung MK, Jakarta, Kamis (18/6).
Ia juga berpendapat, perkawinan di usia dini tidak memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan, karena, di masa-masa itu adanya kemauan bebas dan tidak ingin terlalu diatur dari yang bersangkutan karena belum dewasa.
Namun, suara Maria kalah dari delapan hakim konstitusi lainnya yang menginginkan perkawinan perempuan minimal tetap 16 tahun.
Di hari yang sama, MK menolak judicial review UU Perkawinan agar diperbolehkan pernikahan beda agama. Yang mengajukan pemohonan, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra.
“Menolak seluruh permohonan pemohon,” putus majelis hakim konstitusi yang dibacakan Ketua MK Arief Hidayat.
Menurut hakim, bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundang-undangan, bukanlah pelanggaran konstitusi.
Hakim berpendapat, perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial.
Ditolaknya judicial review itu ditanggapi oleh salah satu pemohon, Rangga Sujud Widigda. “Ya sudahlah, hakim sudah memutuskan dan nggak ada yang bisa saya lakukan lagi, judicial review UU Perkawinan resmi selesai,” tulisnya di akun twitternya, @RanggaWidigda.
Dalam persidangan ini hadir para tokoh agama untuk memberikan masukan, seperti perwakilan dari Parisada Hindu Dharma.
Menurut Parisada Hindu Dharma, pernikahan beda agama bertentangan dengan agama mereka. Karena dalam ajaran Hindu, setiap pasangan diharuskan menjalani sejumlah ritual yang mensyaratkan pasangan memeluk agama Hindu.
“Perkawinan beda agama menurut agama kami tidak bisa disahkan dan dianggap zinah. Pernikahan seperti ini tidak sah dan tidak dapat dicatat ke dalam catatan administrasi negara,” jelas Ketua Komite Parisada Hindu Dharma, I Nengah Dana.