Hari ini, lebih dari 60 tahun kemudian, kita masih menyaksikan negeri ini belum berjaya dalam soal pangan. Meski Indonesia adalah negara maritim dengan luas laut yang membuat iri negara lain, konsumsi ikan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara seret lautan seperti Malaysia, bahkan Singapura.
Catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sepanjang 2011 lalu konsumsi ikan Indonesia hanya 31,5 kilogram per kapita per tahun. Jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 55,4 kilogram dan 37,5 kilogram per kapita.
Tak terlihat betapa negeri ini punya garis pantai yang 88.000 km panjangnya. Negeri dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia ini, kini menikmati garam yang harus diimpor sebelum bisa melengkapi santapan kita.
Angka konsumsi daging Indonesia malah lebih tragis, lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia maupun Eropa. Angka konsumsi daging warga Indonesia hanya 2 kilogram per orang per tahun, jauh di bawah Malaysia yang mengonsumsi daging 8 kilogram per orang per tahun. Padahal, pola konsumsi ideal manusia mensyaratkan tak boleh kurang dari 2,9 kilogram.
Angka konsumsi susu Indonesia pun menurut hasil survei yang dilakukan Euromonitor & Internal Tetra Pak tahun 2011 tercatat hanya 12,8 liter per kapita per tahun. Jumlah itu jauh di bawah Malaysia yang mencapai 50,8 liter per kapita per tahun dan India sebanyak 47,1 liter. Bahkan dibanding negara yang baru lepas dari Komunisme rigid seperti Vietnam, yang telah mencatatkan angka 14,3 liter.
Catatan kekurangan ini sengaja dibatasi hanya pada tiga jenis pangan yang berkaitan erat dengan protein hewani, yang diakui memengaruhi langsung kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Melihat angka-angka di atas, harus diakui bahwa lebih dari setengah abad kita merdeka, harapan para founding fathers untuk menyaksikan rakyat Indonesia yang maju, yang tak gampang diakali dan menjadi kuli bangsa lain, masih jauh dari terwujud.
Kita bisa membuat daftar catatan yang lebih membuat miris lagi. Bersangkutan dengan makanan, ternyata hingga saat ini kita hanyalah bangsa yang ‘meminta diberi makan’ negara lain. Bukan bangsa yang bisa berbangga dan membusungkan dada dengan ‘memberi makan’ bangsa-bangsa lain. Kita yang membanggakan kesuburan tanah ini sejatinya hanya pengimpor aneka bahan makanan.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun 2012 kita telah mengimpor beras sebanyak 1,224 juta ton beras; 6,43 juta ton gandum; 775 ribu ton singkong; serta 1,7 juta ton kedelai. Semua yang seharusnya bisa kita hasilkan sendiri di tanah subur yang sejak lama diidamkan bangsa-bangsa lain ini.
Lihatlah, dari kacamata konvensional agama, yang melihat tangan di atas lebih baik dibanding tangan di bawah yang menadah, ternyata kita bukan bangsa yang layak berbangga.
Sementara, harapan untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri, merasa bangga karena menanam, memproduksi dan memakan sendiri hasil bumi yang kita tanam dengan tangan dan keringat bangsa sendiri itu, bahkan kian menjauh. Data yang bisa kita pegang menegaskan, kemandirian pangan itu kian menjadi maya dan fatamorgana.
Paling tidak, karena warga negara yang berkhidmat pada pertanian pun kian menyusut jumlahnya. Pada 2003, Indonesia memiliki kepala keluarga yang berkhidmat di pertanian sebanyak 31,17 juta. Sementara setahun lalu, 2013, angka itu hanya tercatat 26,13 juta saja. Ada penurunan 5,04 juta KK selama satu dasawarsa.
Tentu saja bukan salah mereka. Di sini, menjadi petani belum bisa membuat dada tegak. Negara pun seolah lupa betapa besar jasa mereka. Nasib petani di sini seakan ditakdirkan berjalan bersama keterpurukan. Akibatnya, tak mengherankan bila anak-anak petani jarang melihat profesi itu pekerjaan bernilai tinggi yang patut disyukuri. Sementara dalam kurikulum dan tata nilai pengajaran, negara pun tak pernah mencoba menanamkan kebanggaan.
Anak-anak petani akhirnya melihat pekerjaan bapaknya tanpa bangga, malah nelangsa. Wajar bila mereka memilih bekerja ke sektor industri. Manakala hal itu berjalin-kelindan dengan globalisasi, mereka pun hanya menjadi buruh dunia, menjadi kacung para pengusaha global yang datang ke tanah-tanah yang sejak lama menjadi hak dan menghidupi bapak-kakek dan moyang mereka.
Tak pernah ada kata terlambat untuk sadar dan bertobat. Negara sudah sepatutnya memberi arah yang jelas dan tegas. Kita perlu petani yang bangga karena pekerjaan itu tak hanya menjadi lahan berbagi, tapi juga menjanjikan secara materi dan masa depan. Kita perlu membuat bertani menjadi identitas yang membuat bangga karena nyata memberikan harapan.
Dengan segala cara, kita memang sepantasnya memberi nilai tukar yang lebih layak kepada hasil-hasil pertanian. Sebab, hanya dengan itu kita masih punya harapan untuk menjadikan negara ini negeri yang memberi makan dunia, bukan menadah tangan dan hanya meminta.
Menjadi petani sejatinya adalah pekerjaan ilahiah. Tinggal kita bersama berusaha agar yang ilahiah itu juga menjadi pekerjaan yang layak dalam kacamata dunia. “Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen,”kata petani sekaligus filsuf pertanian Masanobu Fukuoka,” melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia.”
Bila kita berhasil mewujudkannya, tak perlu merebak ketakutan dengan prediksi bahwa 2045 mendatang ada 450 juta warga Indonesia yang harus diberi makan. Sementara di sisi lain kita tahu, ekonom Lester R Brown pada jurnal terkemuka Foreign Policy tahun lalu menulis, dunia ke depan pun akan rawan pergolakan akibat krisis pangan.
Jelas, tanpa cetak biru strategi yang jelas, sesungguhnya kita hanya menanti tragedi terjadi pada anak cucu kita nanti. Dan seharusnya itu tidak dilakukan hanya dengan ekstensifikasi. Bukti telah mengajari, sekian juta hektare hutan ditebang tak menjamin melimpahnya pangan.