Jakarta - Butuh 10 tahun bagi Indonesia untuk sanggup menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional sejak merdeka pada 1945.
Saya teringat salah satu adegan paling puitik dari film "Soekarno" besutan Hanung Bramantyo. Pada adegan itu, Bung Karno (BK) dan Hatta duduk di jok belakang mobil. Dua kali Hatta bertanya pada BK soal keyakinan bahwa jika Indonesia merdeka, akankah mereka sanggup memimpin Indonesia dengan baik, mampu menghindarkan Indonesia dari kesenjangan pusat-daerah, dan sanggup menyelenggarakan pemilu secara adil.
Pertanyaan Hatta pada adegan itu sebenarnya menjadi pertanyaan yang terus mendengung di pusaran elit Indonesia pada dekade pertama kemerdekaan. Hampir semua kabinet yang pernah memerintah Indonesia pada masa itu selalu menerima pertanyaan dan desakan mengenai kapan pemilu akan diselenggarakan.
Bahkan di bulan-bulan pertama kemerdekaan, desakan mengenai pemilu sudah berkumandang di rapat-rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan yang mulanya dibentuk untuk membantu presiden tapi kemudian berubah menjadi lembaga legislatif pada Oktober 1945.
Ketika Sjahrir membentuk kabinet pada November 1945, kabinet pertama yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan itu berarti sistem pemerintahannya adalah parlementer, maklumat yang dikeluarkan oleh Sjahrir sudah menyebut betapa mendesaknya untuk sesegera mungkin menggelar pemilu.
Bahkan dalam kecamuk konflik bersenjata yang dipicu oleh pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, wacana mengenai Pemilu (dengan nada dan tendensi yang berbeda-beda) juga diutarakan oleh PKI maupun pemerintahan yang dipimpin oleh Hatta sebagai perdana menteri.
Setelah periode revolusi berakhir menyusul disepakatinya perjanjian Konferensi Meja Bundar, Indonesia memasuki fase baru sebagai pemerintahan yang kedaulatannya sudah de facto dan de jure diakui oleh dunia internasional. Kembali wacana pemilu mengemuka dan menjadi desakan yang harus diterima dengan lapang dada oleh setiap kabinet yang berkuasa. Hampir setiap kabinet yang berkuasa menjadikan pemilu sebagai salah satu agenda dan program mendesak yang akan mereka kejar.
Pemilu akhirnya sungguh-sungguh menjadi persoalan politik yang pelik, rumit sekaligus penting menyusul terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu kabinet dipimpin oleh Perdana Menteri Wilopo yang merupakan koalisi antara Masyumi-PNI.
Peristiwa 17 Oktober 1952 secara ringkas bisa digambarkan sebagai perlawanan pihak tentara terhadap apa yang mereka anggap sebagai intervensi parlemen terhadap internal tentara. Sebagai perlawanan terhadap parlemen, mereka menggelar demonstrasi yang intinya mendesak Bung Karno untuk membubarkan parlemen. Dipimpin oleh Kemal Idris sebagai komandan di lapangan, hari itu sejumlah tank mengarahkan moncongnya ke arah Istana Merdeka.
Bung Karno menolak memenuhi tuntutan itu. Dia mengatakan kalau dirinya tidak ingin menjadi seorang diktator sehingga tak mungkin menyetujui pembubaran parlemen. Pada saat yang sama, Bung Karno meyakinkan publik bahwa Indonesia akan sesegera mungkin menyelenggarakan Pemilu agar gejolak politik yang terus menerus muncul bisa diredakan.
Jika sebelumnya wacana pemilu mengemuka sebagai tuntutan dan pembuktian diri bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis, maka sejak 17 Agustus 1952 wacana mengenai pemilu memasuki babak baru: pemilu dipercaya sebagai solusi paling meyakinkan untuk menyelesaikan semua polemik, konflik dan perseteruan politik dalam sistem parlementer.
Sejak itulah rencana menyelenggarakan pemilu mengalami percepatan. Sebulan setelah peristiwa itu, Kabinet Wilopo akhirnya bisa mengajukan rancangan UU Pemilu pada November 1952. Empat bulan kemudian, sekitar awal April 1952, rancangan itu pun resmi disahkan sebagai Undang-Undang.
UU Pemilu 1953 itu memutuskan bahwa sistem pemilihan menggunakan model proporsional. UU itu juga memutuskan bahwa Pemilu akan dibagi ke dalam dua tahap yaitu pemilu legislatif untuk mencari wakil di parlemen dan pemilu kontituante untuk memilih wakil yang akan menyusun konstitusi di Dewan Konstituante.
Diputuskan juga bahwa daerah pemilihan dibagi menjadi 16 wilayah, termasuk Irian Barat. Tiap daerah pemilihan mendapat kursi dengan jumlah berdasarkan jumlah penduduknya. Setiap daerah minimal akan mendapat enam kursi di Dewan Konstituante dan minimal 3 di parlemen.
Keputusan vital lainnya adalah Pemilu akan diselenggarakan oleh lembaga pemilihan yang terdiri dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehakiman, dengan porsi penyelenggaraan terbesar diberikan pada wakil-wakil partai yang akan menyusun aturan lebih detail Pemilu. Ini mirip Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1999 yang mana setiap partai mengirimkan satu wakilnya.
Tetapi kerja masih jauh dari selesai. Ketika Kabinet Wilopo jatuh, mereka masih belum sanggup membentuk lembaga semacam KPU karena tarik-menarik kepentingan yang luar biasa kuat mengenai susunan dan jumlah lembaga/kepanitiaan Pemilu itu. Lembaga ini baru terbentuk pada Kabinet Ali Sastroamidjodjo di penghujung tahun 1953. Saat itu lembaganya dinamai Panitia Pemilihan Indonesia.
Lima bulan kemudian, pada Mei 1954, tahapan pendaftaran pemilih pun dimulai. Tahapan ini berakhir pada November tahun yang sama. Hasilnya: ada 43.104.464 orang terdaftar sebagai pemilih. Pada Desember 1954, partai-partai sudah mulai mengajukan para calon wakil rakyat yang mereka usung. April 1955 jadwal pemilu pun rilis: 29 September 1955 adalah pemilu legislatif untuk memilih anggota parlemen dan 15 Desember 1955 adalah pemilu untuk memilih anggota Konstituante.
Tapi hambatan masih muncul. 27 Juni 1955, Kabinat Ali Sastroamidjodjo harus meletakkan jabatannya karena lagi-lagi konflik berkepanjangan antar partai. Krisis kembali muncul, sementara jadwal penyelenggaraan pemilu semakin dekat.
Beruntung kabinet berikutnya yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap, politikus Masyumi, berhasil menyelesaikan tugas sejarah yang selama 1 dekade sebelumnya hanya menjadi wacana dan perdebatan. Dilantik pada 12 Agustus 1955, kabinet ini mampu menyelenggarakan dua tahap pemilu (29 September dan 15 Desember).
Tapi benarkah pemilu, termasuk pemilu 1955, akhirnya benar-benar sanggup menjadi solusi atas kecamuk politik yang tak henti-hentinya bergejolak itu? Ini pertanyaan berbeda yang membutuhkan esai tersendiri untuk menjawabnya.
Di sini, cukuplah dikatakan: pemilu senantiasa menjadi harapan, tapi siapa yang menabur harapan sudah semestinya untuk siap menuai kekecewaan.