Jakarta - Berbekal kejernihan hati, marilah kita telusuri, mengapa kasus-kasus hukum di negeri ini semakin meningkat kuantitas maupun kualitasnya. Penelusuran perlu dilakukan secara tajam, menukik pada tataran moralitas hukum.
Dari sanalah, perlu pengkajian, mengapa keberkahan hukum turun drastis, sementara laju kejahatan meningkat tajam. Bukankah moralitas hukum mengajarkan bahwa keberkahan hukum pasti terlimpah kepada seluruh penduduk negeri, bila mereka tunduk, patuh, dan taat pada hukum? Dengan penalaran sederhana, dapat diduga, merebaknya kasus-kasus hukum merupakan manifestasi pengingkaran, pendustaan, penjungkirbalikan hukum itu sendiri.
Kita lihat, di mana pun dan kapan pun, pandangan mata senantiasa terantuk pada kejahatan. Pada proses dan momentum pileg kemarin, misalnya, dari pucuk pimpinan partai sampai dengan calon pemilih, keberadaan orang jujur, anti-money politic, bisa dihitung jari. Selebihnya, memandang money politic sebagai bagian dari praktik demokrasi. Karena hebatnya gempuran-gempuran politik, hukum sebagai norma maupun perilaku, goyah, tak mampu bertahan pada moralitasnya.
Keberkahan hukum, pada dimensi moralitas merupakan keterpaduan hukum dengan pemikiran, sikap dan perilaku— baik warga negara maupun penyelenggara negara—sehingga daripadanya berbagai kebutuhan material-duniawi maupun kebutuhan spiritual-ukhrawi, melimpah secara ajeg, proporsional, dan berkesinambungan.
Keberkahan hukum akan muncul dalam berbagai tingkatan, dan segalanya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut. Pertama, pemahaman, kesetiaan, dan pengamalan pandangan hidup bangsa. Bila pandangan hidupnya terbatas, hanya untuk jangka pendek, hanya untuk hal-hal yang bersifat material, pada tahapan awal umumnya dicapai secara optimal, karena pendayagunaan unsur-unsur kemanusiaan dilakukan secara maksimal. Itulah kehidupan duniawi, kehidupan sementara dan lahiriah.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan hidupnya Pancasila. Sedemikian jauh, luas, dan beragam, cakupan Pancasila dalam memberi arah, motivasi dan energi untuk pencapaian keberkahan hukum. Puncaknya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Memosisikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber dari segala hukum akan menghasilkan kekuatan hukum yang mampu menembus segala dimensi wujud. Keimanan kepada Allah SWT merupakan pembuka pintu rezeki.
Orang beriman, hatinya bening, hidayah mudah masuk. Didukung akal cerdas, proses berpikir produktif melahirkan berbagai kreativitas. Ujungnya, ada progresivitas. Keberkahan hukum, bak turunnya hujan dari langit, bak tumbuhnya pepohonan dari bumi. Tinggal bagaimana kita menerjemahkan Pancasila ke dalam sistem hukum nasional. Pada sisi ini komitmen para penyelenggara negara masih dipertanyakan sehingga keberkahan hukum pun bermasalah.
Kedua, pengonsepan ilmu hukum. Ilmu merupakan lentera kehidupan. Dengan ilmu, keberkahan hukum akan menyatu dalam kehidupan. Karenanya, perlu disegarkan pemahaman hukum sebagai ilmu, dan bukan sekadar produk politik. Kehampaan hukum dari ilmu merupakan pertanda gelapnya kehidupan.
Bagi bangsa Indonesia, semestinya, kajian, pembelajaran, pembuatan, pelaksanaan dan penegakan hukum, senantiasa memosisikan Pancasila sebagai paradigma ilmu hukum. Artinya, nilai-nilai Pancasila dijadikan sandaran, orientasi dan ukuran kebenaran dalam berolah ilmu maupun mengamalkan ilmu hukum dalam segala segi kehidupan.
Ilmu hukum berparadigma Pancasila mampu memberi garansi terwujudnya perundang-undangan dan keadilan substantif, yakni keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Misal, irah-irah undangundang berbunyi ”Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. Ini bukan slogan kosong, formalitas, tanpa makna, melainkan menjiwai seluruh substansi undang-undang yang bersangkutan.
Dari sanalah, lahir undang-undang berkarakter teologis-religius, terjauhkan dari sifat ateis-sekuler. Layak diingatkan, agar otoritas pembuatan undang-undang tidak didominasi elite politik, tetapi perlu kerja sama sinergis antarpakar, akademisi, ilmuwan, dan agamawan. Sinergitas merupakan jalan menuju terwujudnya keberkahan hukum.
Ketiga, kejujuran. Kejahatan identik dengan ketidakjujuran. Secara sosiologis, boleh jadi orang jujur malah ”hancur”. Mengapa? Karena orang jujur berada pada sistem yang korup. Penjahat sebagai manifestasi perilaku tidak jujur, sering justru ”mujur”, paling tidak diukur dari percepatan dan kuantitas perolehan harta benda dan kekuasaan.
Apakah itu keberkahan hukum? Bila hukum merupakan produk politik, produk rekayasa, produk transaksional, produk tradisi wani-pira, sangat dimungkinkan penjahat terbentengi oleh hukum ateis-sekuler. Pada tataran praksis, koruptor dan pengedar narkoba masih tersenyum riang, karena mereka yakin, hukum dan penegak hukum dapat dibelinya. Awam yang melihatnya, sedih, perih, namun tak berdaya, kecuali jeritan hati tertuju kehadirat Illahi Rabbi, dalam doa: ”...
Tuhan, tunjukkan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah...”. Bagi orang beriman, terkabulkannya doa hanya soal waktu. Dalam skala kehidupan utuh dan menyeluruh, keberkahan hukum tetap milik orang jujur. Pada saat yang tepat, orang tidak jujur pasti termakan oleh hukum ilahiah, hukum kodrat dan hukum alam.
Keempat, konsistensi menerima putusan hakim. Tiada manusia tak pernah salah. Ada kesalahan karena kesengajaan dan ada pula kesalahan karena kelalaian, kebodohan, atau kedunguan. Sungguh malang, bagi mereka yang melawan putusan hakim yang sudah final dan memiliki kekuatan hukum tetap. Melalui proses peradilan dan di tangan hakim, suatu perkara diselesaikan, sehingga ada pihak dimenangkan karena benar, dan ada pihak lain dinyatakan kalah karena bersalah.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, sudah final. Jangan dilawan, jangan dikhianati, apalagi hakimhakimnya dipersalahkan. Mengais rezeki dari keuangan negara yang terlanjur dianggarkan, mempertahankan kekuasaan demi gengsi politik, ataupun dengan dalih apa pun, sama maknanya dengan menjauhkan keberkahan hukum dari kehidupan seluruh negeri.
Kutukan semua makhluk di langit dan di bumi tertuju bagi mereka. Putusan MK bukan untuk menyakiti politisi. Bila dipahami, ditaati, pasti menenteramkan hati. Semestinya diterima sepenuh hati, bukan dikhianati. Tetapi, bila peringatan ditanggapi tanpa empati, mungkin sikap demikian menjadi bukti dan saksi bahwa telah datang suatu masa, para politisi lari menjauh dari akademisi.
Saat demikian, keberkahan hukum akan lenyap dan berubah menjadi malapetaka, yakni munculnya pemimpin yang zalim. Naudzubillah.